Sunday, September 10, 2006

Lomba Makan Kerupuk di Aston Park


Siang itu, kami warga IndoBrummies mengadakan acara peringatan 17Agustusan di Aston Park-lapangan persis di depannya Stadion Aston Villa.

Inti acara tersebut sebenarnya sederhana saja, mempererat tali silaturahmi antar warga IndoBrummies. Untuk menambah semarak dan mengingatkan pada tanah air, berbagai lomba pun ikutan digelar. Mulai dari lomba makan kerupuk, gigit kelereng, masukin pensil dalam botol, dan lain sebagainya. Dan yang paling asik lagi, ada ibu-ibu IndoBrummies yang jualan. Mulai dari somay, mi bakso, pempek, sampe piscok. Yummy..

Acara dipandu oleh saya dan Bisma. Wah, MC cabutan nich. Ngga siap apa-apa, tau-tau malah jadi ngemsi. Untung hari itu pake baju warna merah, jadinya biar kesannya menghayati peran.. hehehe..

Suasana gloomy di sepanjang langit Aston Villa, membuat suhu udara menjadi dinginnya naujubilee.. Saat itu saya cuman pake jaket jins yang tipis, ditambah dengan badan yang tipis, jadi tambah semriwing aja dech dinginnya. Suasana gloomy ngga berhenti sampai disitu. Hujan tipis dan rintik mulai menggayuti langit Aston. Huih, tambah syahdu aja waktu Anggi mendendangkan lagu Indonesia Raya diiringi hujan rintik-rintik. Ditambah lagi, waktu Mamad membacakan teks proklamasi, suasana haru dan dingin semakin menyusup..

And then, tiba saatnya acara lomba yang dinanti2kan anak-anak. Lomba makan kerupuk, gigit kelereng, dan lain sebagainya banyak peminatnya. Bahkan untuk lomba pecah balon, juga mengikutsertakan kontestan peserta dewasa. Seru, jijay, dan penuh intrigue waktu kontestan dewasa ikutan lomba.. hihihi..

Ya gitu dech, ngga cuma di Indo aja bisa meramaikan 17 Agustusan ini. Biarpun lagi jauh di negeri orang, suasana rindu tanah air dan nasionalisme tetap tumbuh di kalangan masyarakat Indo di luar negeri. Ngga cuman di Inggris aja, mungkin di belahan negeri yang lain juga begitu.
Ok, selamat ulang tahun Indonesia. Maju terus ya.. Berantas korupsi dan kita tidak boleh ketinggalan dengan negara lain. Bravo Indonesia........ Bravo Indobrummies

Baked Bean and Telor Mata Sapi


Pagi ini, seperti biasa, saya harus sarapan a la Inggris. Toast, corn flakes, baked bean, scrumble eggs dan ditambah the famous english tea. Semua sudah menjadi lalapan sehari-hari untuk bisa bertahan hidup.

Pagi ini, saya sarapan baked bean dan telor mata sapi. Sangat praktis dan efisien untuk seorang anak kos seperti saya ini. Tinggal masukin microwave, sarapan sudah tersedia.

Tapi, rasanya lidah ini tidak bisa bohong. Kebiasaan makan bubur ayam bang jali, lontong sayur pak sadi, dan nasi uduk bu mar, membuat lidah saya rasanya belum komplit hanya dengan menikmati sarapan a la inggris ini.

Memang, yang namanya selera nusantara tetap nomor satu. Kadang saya ngga pernah peduli dan ngga pernah menghargai betapa jasa Bang Jali dan Bu Mar setiap pagi. Dulu, hampir tiap pagi saya selalu memesan bubur ayam bang jali yang selalu nongkrong di depan komplek. Begitu melihat mobil saya kelihatan di ujung jalan, Bang Jali langsung tersenyum dan membuatkan seporsi bubur ayam untuk bekal gue ke kampus atau ke kantor.

Kadang saya juga sesekali memberikan jatah rejeki kepada Pak Sadi atau Bu Mar, langganan lontong sayur dan nasi uduk. Kalau istilah ekonominya, distribution of income. Kadang sepele, tapi apa salahnya kita juga turut meng-empower jiwa kewirausahaan bang jali, pak sadi, atau bu mar. Itu penting kita lakukan agar orang-orang seperti bang jali cs bisa keluar dari goa kemiskinan mereka dan bisa menatap dunia dengan lebih jernih.

Celah kemiskinan yang sekarang ini dialami oleh orang-orang seperti bang Jali tentunya bukan semata-mata kesalahan bang Jali ataupun karena nasib bang Jali. Gap yang terjadi antara si kaya dan si miskin antara lain juga ulah ketidakbecusan dalam me-manage kehidupan bangsa dan negara.

Apa sich yang tidak dimiliki Indonesia? Minyak? Gas alam? barang tambang? sumber daya manusia? Hampir semua sumber daya vital yang dibutuhkan manusia, dimiliki oleh Indonesia. Tapi kenapa Indonesia hanya bisa masuk dalam ring ke 100 besar dari sisi income per capita (Produk domestik bruto)?

Memang tidak mudah mengurus sebuah negara. Walaupun demikian, kenapa banyak 'orang besar' berlomba untuk menjadi seorang Presiden? Tentu jawabannya bervariasi; ada yang ingin mendapatkan kekuasaan, ada yang ingin melanggengkan kekuasaan, ada yang ingin sedikit memiliki kekuasaan dan turut berjuang demi rakyat, dan ada pula yang semata-mata ingin berjuang demi rakyat. Jawaban yang terakhir biasanya jawaban klise yang sering kita dengar dari kampanye kandidat presiden.

Kembali ke masalah kemiskinan. Apakah bisa memperkecil jarak rentang kemiskinan antara si kaya di pondok indah dan si pengemis di kolong jembatan di tanah abang?

Jawabannya selalu ada. Perbaiki sistem pendidikan. Perbanyak dana untuk pendidikan. Sekolahkan anak-anak jalanan dengan gratis. Beri beasiswa ke luar negeri bagi anak-anak kurang mampu. Tidak perlu mempertimbangkan kemampuan akademis dan kapasitas individu yang dimiliki anak. Tidak semua anak bisa sukses dalam akademis. Tapi ada segelintir anak yang mungkin bisa lebih sukses di bidang yang lain. Jadi, 'memberi tanpa ada pengecualian'. Beri fasilitas student loan bagi mahasisw yang kurang mampu sehingga mereka bisa tetap mampu bersaing dengan mahasiswa kaya.

Proposal saya adalah pendidikan. Pendidikan adalah gerbang kualitas individu yang dapat memberi arah dan jalan bagi individu tersebut. Pendidikan memberikan wawasan dan wacana untuk bisa memandang hidup, memperjuangkan hidup, dan mempertahankan hidup.
Jadi, sebagaimana amanat perubahan UUD '45, pendidikan harus mendapatkan paling tidak plot 20% dari anggaran negara. Pemerintah harus 'mau tahu' dengan kesulitan orang kecil seperti bang jali cs dalam menyekolahkan anaknya. Beri pendidikan gratis buat mereka.
Sistem yang sampai saat ini masih berlaku di negara-negara eropa timur eks uni sovyet bisa dicontoh. Pendidikan gratis untuk kita, untuk semua.

Dengan berbekal pendidikan, anak-anak bang jali cs tentunya akan menatap hari depan mereka dengan lebih cerah. Mungkin dalam 5-10 tahun, anak-anak bang jali cs juga bisa menikmati sarapan baked bean dan telor mata sapi di Inggris seperti saya sekarang ini. Sehingga stigma jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, bisa direduksi dan mudah-mudahan bisa dieliminasi.

Yah, walau dunia selalu berjalan dalam sebuah neraca keseimbangan, tapi apa salahnya kita memberikan timbangan yang lebih berat untuk memperjuangkan nasih bang jali cs. Sehingga walaupun tetap ada istilah si kaya dan si miskin dalam konteks keseimbangan alam, paling tidak jarak antara gap tersebut bisa direduksi.

Sebelum saya lupa... Bang Jali, makasih atas bubur ayamnya ya..

Saturday, September 09, 2006

Belajar Terbiasa Dengan Globalisasi


Kata-kata globalisasi tentunya bukan hal yang asing buat kita. Maknanya bisa luas; bisa mencakup hubungan politik internasional, perdagangan, ekonomi, komunikasi, sampai badan intelijen.

Buat saya, makna globalisasi tidak lain adalah pertukaran informasi. Dengan adanya globalisasi, kita jadi tahu apa yang terjadi di Libanon saat digempur pasukan Israel. Kita juga tahu bahwa ada busung lapar di Ethiopia dan negara-negara Afrika. Dengan globalisasi, kita juga bisa ikutan mengutuk Bill Clinton saat terlibat skandal dengan Monica Lewinski.

Itulah hebatnya globalisasi.

Kita bisa menikmati gurihnya KFC dan McDonald. Kita juga bisa dengan leluasa menelpon pacar dengan HP Nokia buatan Findland. Kita juga bisa dengan mudah berkomunikasi via Skype buatan Estonia untuk menghubungi teman dan sahabat kita yang ada di luar negeri. Selain itu, kita juga bisa jalan gaya dengan tas Gucci dan jam Benetton untuk berangkat kerja.

Itulah hebatnya globalisasi.

Banyak orang yang kagum dengan kecanggihan globalisasi. Banyak pula yang mengecam bahaya dibalik globalisasi. Bahaya akibat kapitalisme dan konsumerisme selalu diusung kaum penggugat globalisasi.

Tapi, lagi-lagi, itulah hebatnya globalisasi.

Rasa ketakutan yang berlebihan bisa ditepiskan dengan serentetan keuntungan yang diberikan dalam globalisasi. Kemudahan komunikasi dan jaringan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, sampai kepada akses ke lembaga peminjam internasional.

Namun, saya tidak mau beropini terhadap serentetan keuntungan tersebut. Selain udah basi dan terlalu sering diusung oleh orang lain, saya ingin memberikan sedikit wacana tentang globalisasi dari sudut pandang yang lain, yaitu mengenai pertukaran informasi.
Pertukaran informasi menjadi krusial agar kita bisa cope dengan lingkungan dan perubahan dunia yang demikian cepat. Bagaimana kita bisa dengan mudah beradaptasi dengan perubahan tersebut dan bisa berkompetisi dengan orang-orang dari negara lain?

Tentunya kita harus bisa menguasai alat komunikasi, yaitu melalui bahasa. Saat ini, dunia mengenal 6 jenis bahasa yang diakui secara internasional, yaitu bahasa inggris, perancis, jerman, china, spanyol, dan arab. Keenam bahasa asing ini diyakini sebagai bahasa internasional berdasarkan populasi yang menggunakan bahasa tersebut.

Kita kecilkan ke dalam bahasa inggris saja. Sejak saya TK sampai sekarang, pelajaran bahasa inggris sudah menjadi lalapan saya sehari-hari. Saya masih ingat betapa orang tua sangat menggembleng saya untuk bisa mahir berbahasa Inggris. Alasan mereka, kalo saya ingin maju dan bisa menembus dunia internasional, saya harus pintar bahasa inggris. Tentunya, buah ini saya petik sekarang. Saya bisa confidence cas cis cus berkomunikasi dengan orang lain di negara nya Prince William ini, karena saya dulu begitu menghayati pentingnya bahasa inggris ini.

Namun, seiring waktu dan jam terbang saya menembus dunia internasional, saya semakin ragu dengan ide globalisasi dari perspektif bahasa sebagai alat komunikasi global. Dalam beberapa kiprah saya di beberapa negara eropa -yang notabene dekat dengan negara Inggris- masih banyak masyarakatnya yang tidak mau dan tidak bisa bahasa inggris. Tak terkecuali dengan orang Perancis yang dulu terkenal anti dengan bahasa inggris. Kesulitan berkomunikasi juga kerap saya jumpai di negara-negara eropa timur, walau sebenarnya hal tersebut wajar aja karena mereka baru saja menggeliat dari rejim komunis pasca kejatuhan Uni Sovyet.

Bahkan, dalam kunjungan saya ke Markas PBB di Vienna beberapa waktu lalu, ada cerita bahwa bahasa inggris ternyata bukanlah menjadi bahasa pengantar dalam rapat pleno di PBB. Argumen yang diberikan adalah lebih kepada kenyamanan dan kepercayaan dalam berkomunikasi. Untuk itu, peran interpreter atau penerjemah sangat krusial untuk menjembatani language problem tersebut.

Dari sini saya kemudian mencoba mencari, apakah benar justifikasi ayah saya bahwa kalo saya ingin terjun ke dunia internasional saya harus pintar bahasa inggris?

Saya kemudian teringat dengan kejadian lucu dan cukup memalukan yang dialami Nadine, seorang putri cantik Indonesia yang diikutkan dalam acara Miss Universe 2006. Mungkin masih ramai dibicarakan di milis-milis betapa memalukanya seorang putri cantik Indonesia tidak bisa berkomunikasi secara lancar dalam bahasa Inggris di ajang internasional.

Tapi, lagi-lagi, Nadine bukanlah perempuan super. Dia memang cantik dan berbakat. Hanya saja kemampuan bahasa Inggris dia perlu diasah lagi kalau dia ingin lebih confidence dalam berbicara dalam bahasa asing.

Tapi Nadine juga tidak salah. Bahasa Inggris belum lah menjadi second language di Indonesia. Nadine mungkin tidak berkomunikasi secara aktif dalam bahasa inggris dengan teman, orang tua, bahkan pacar. Lain dengan Nadine-Nadine di Malaysia dan India yang memang menjadikan english sebagai second language mereka. Tapi, ini terkait dengan sejarah kolonial dimana Malaysia dan India sama-sama dijajah oleh Inggris, sehingga mereka masih merasa memiliki ikatan batin dengan Sang Ratu Inggris.

Kembali ke Nadine dan pengaruh globalisasi bahasa. Ada dua proposisi. Pertama, jika Nadine aware, at least dia tidak perlu menceburkan diri dalam globalisasi bahasa yang dia sendiri tidak kuasai. Alangkah elegannya jika Nadine berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan bahasa Indonesia-bahasa yang setiap hari diucapkan oleh 250 juta orang. Itu bukan suatu hal yang buruk dan memberikan penilaian yang sedikit buat Nadine. Karena, terbata-batanya Nadine dalam menjawab pertanyaan, membuat Nadine dan dunia pendidikan di Indonesia (terutama pendidikan Bahasa Inggris) menjadi tercemooh.

Kedua, jika Nadine aware untuk terjun ke dunia internasional, jangan lah setengah-setengah. Kesempatan selalu ada untuk bisa meng-up date kemampuan berbahasa asing agar bisa mampu berkompetisi di arus globalisasi bahasa tersebut. Proposisi kedua inilah yang dikenalkan ayah saya sehingga saya merasa confidence untuk melebarkan jaringan internasional saya.

Kesimpulannya, belajar terbiasa dengan globalisasi bisa dilihat dari dua sisi. Menerima informasi dan perubahan yang ada, atau mencoba membuat perubahan dari sebuah bentuk kesepakatan informal yang selama ini telah terbangun. Dalam hal ini, kasus pengenalan bahasa indonesia dalam wawancara Nadine dapat merefleksikan sisi yang kedua.

Dengan melihat globalisasi dari kedua sisi tersebut, kita tidak perlu takut untuk belajar terbiasa dengan globalisasi.

Anda boleh sependapat, boleh juga tidak.

Learn to appreciate of what we thought is not important

Siang ini saya kembali bereksperimen dalam hal memasak. Karena hari ini hari sabtu, tak ada salahnya saya kembali ke dapur untuk sekedar memuaskan aspirasi perut Indonesia saya dengan masakan Indonesia. Sudah hampir seminggu lamanya perut ini cuman diisi sandwich ala inggris kalo pas lunch. Kangen juga dengan masakan Indonesia.

Akhirnya setelah meneliti isi lemari es dan mencermati apa yang tersisa di situ, saya menemukan terong, cabe merah besar, tempe, dan ayam. Hmmm.. tercenung sejenak, kira-kira apa yang bisa dimasak dengan kombinasi semua itu. Setelah merenung sejenak dan mencari inspirasi, akhirnya saya memutuskan akan membuat kombinasi : Terong balado dan Tempe penyet. Ayamnya? Hm.. buat diner aja dech, karena masih frozen gitu, dan butuh waktu lama lagi untuk mengolahnya, padahal perut udah bernyanyi keroncong.

Setelah semua bahan terkumpul, mulailah saya melakukan aktivitas masak-memasak itu, yang jarang sekali saya lakukan waktu saya di Indonesia. Malah kalo boleh dibilang, ngga pernah, kecuali terpaksa karena Staff dirumah pulang kampung .. hehe..

Begitulah, disela-sela saya memotong terong dan tempe, saya teringat Staff saya dirumah. Mungkin beginilah perasaan nya waktu melaksanakan tugasnya menjadi pembantu di rumah saya. Memasak untuk saya. Menyediakan yang terbaik untuk saya... Ngga terbayangkan sebelumnya. Yang terkadang suka muncul adalah perasaan amarah kalo staff saya melakukan kesalahan. Masakannya terlalu asin atau ngga ada rasanya. Atau masakannya ngga enak sama sekali. Padahal, memang susah pekerjaan masak memasak.

Mengapa saya bilang susah?

Bayangkan, untuk bikin terong balado, saya harus ngulek cabe, bawang merah, bawang putih, tomat.. dan itu bukan pekerjaan yang mudah. Dan untuk bisa menghasilkan ulekan yang halus, saya harus bekerja keras menggerusnya sambil menahan air mata akibat aroma bawang yang memedihkan mata. Duh, sebuah pekerjaan yang ngga gampang. Saya cukup frustrasi karena ngga bisa menghasilkan gerusan yang halus, alhasil si bawang dan si cabe masih dalam kondisi yang cukup terlihat jelas dan ngga kegerus sama sekali.

Belum lagi waktu menggoreng tempe. Berapa kali saya kecipratan minyak panas waktu nggoreng si tempe. Alhasil beberapa titik di lengan saya harus rela diolesi odol, supaya ngga jadi luka. Duh duh.. goreng tempe aja so complicated gitu..

Pelajaran yang saya dapatkan dari memasak hari ini adalah, betapa berharganya jasa staff saya dirumah. Kecil sich sepertinya, tapi kalo tidak ada mereka, ngga tau deh apa yang terjadi sama saya. Mereka memang kelihatannya tidak berdaya .. hanya mengandalkan kebisaan memasak, mencuci, menyetrika, dan mengasuh anak. Mereka ngga punya bekal apa-apa untuk kehidupan mereka. Dan, again, apakah mereka punya cita-cita selain hanya mengabdi untuk majikan mereka?

Ngga terasa, air mata mengalir dari bola mata saya yang mungil dan imut itu (doohh..). Saya menyesal betapa saya kurang menghargai keberadaan mereka. Pekerjaan ngulek terong balado dan menggoreng tempe mungkin hal yang kecil buat mereka, tapi itu sangat berat buat saya. Saya mengagumi betapa kegigihan mereka untuk hidup dan mengabdi pada majikan mereka.

Well.. learn to appreciate of what-we-thought-is-not-important is a new thing that I learn today. I hope it's not too late to express my apologize if I did wrong things to you, my staff.. Muroh and Suster Pu-ah, and two more.. Suster Maya and Titin.

Sukseskah Desentralisasi di Indonesia???

Banyak orang yang meragukan akan keberhasilan desentralisasi yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2000. Awalnya, proses menuju ke arah desentralisasi dilalui dengan sangat tergesa-gesa. Maklum, saat itu Habibie sedang dituntut performance-nya untuk menjadi calon presiden yang handal. Walaupun saat itu Habibie sudah menjadi presiden, tapi banyak rakyat menganggap itu hanyalah sebagai 'by coincidende' belaka.

Maka, dengan kondisi yang menuntut adanya reformasi di segala bidang, jadilah kedua undang-undang yang menopang pelaksanaan desentralisasi ditetapkan. Kondisi itu juga diperparah dengan 'arahan' dari lembaga donor internasional yang sangat menggembar-gemborkan implementasi desentralisasi di negara berkembang -dan Indonesia menjadi salah satu sasarannya.

Saat ini sudah memasuki tahun keenam pelaksanaan desentralisasi. Dan, kedua undang-undang yang disahkan pada masa pemerintahan Habibie telah diamandemen pada tahun 2004. Banyak alasan yang mendorong kenapa pemerintah memutuskan untuk mengamandemen undang-undang tersebut. Salah satu motif utama adalah semakin timbulnya kesenjangan atau inequality yang cukup tajam antar daerah. Selain itu, anekdot yang cukup nge-trend tentang definisi desentralisasi versi Indonesia adalah transfer of corruption from central to local government, atau kalo diterjemahkan secara bebas berpindahnya korupsi yang semula berada di tingkat pusat menjadi korupsi di tingkat daerah.

Sebenarnya apa yang salah dengan desentalisasi di Indonesia? System? sudah oke karena seperti tadi yang saya sebutkan dimuka, dorongan desentralisasi di Indonesia salah satunya adalah tuntutan dari negara donor yang memang sedang menggiatkan kampanye 'desentralisasi' ini ke negara-negara berkembang. Oleh karenanya, sistem desentralisasi -baik itu dari segi penyerahan kewenangan, penyerahan keuangan, maupun perangkat yang lainnya- yang di establish di Indonesia, sudah sesuai dengan path yang ada di negara-negara berkembang.
Lalu kenapa gaung desentralisasi sepertinya kurang mendapat tempat dihati sebagian orang? Apakah itu berarti pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sudah gagal?

Saya sebenernya cukup optimis dengan sistem yang sekarang sedang diusahakan oleh Pemerintah, walo tidak bisa dibilang sebagai sistem yang ideal. Dari beberapa segi, Pemerintah telah berhasil mentrasfer informasi kepada publik. Dan itu saya pikir merupakan sebuah terobosan yang baik dalam sebuah proses pembangunan. Proses komunikasi yang harmonis dan sinergis antara masyarakat dan pemerintah merupakan sebuah tonggak utama keberhasilan sebuah pelaksanaan demokrasi - yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk desentralisasi tadi.

Namun kalo boleh kita ambil salah satu contoh dari negara di Afrika, Uganda-misalnya, dorongan untuk desentralisasi bukan datang dari negara donor atau faktor eksternal, tapi dari komitmen internal -politisi, masyarakat, dan pemerintah- yang berkeinginan kuat untuk membangun sebuah rumah demokrasi yang dikokohi dengan desentralisasi. Bayangkan, negara seperti Uganda dapat hand-in-hand together dalam mengimplementasikan 'public choice theory' seperti yang diproposed oleh James Buchanan. Lantas, mengapa negara Indonesia tidak bisa seperti itu ya? Kenapa Indonesia harus dipecut dulu oleh negara donor? Sedih yach..
Mungkin itu salah satu alasan bagi yang pesimis-desentralisasi yang memandang desentralisasi di Indonesia telah gagal (walo saya masih berusaha untuk optimis nich..)

Tapi, dari sekian banyaknya hasil studi tentang desentralisasi di Indonesia dan umumnya di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kesenjangan maupun peningkatan partisipasi masyarakat masih belum jelas. Ngga kurang dari ekspatriat dibidang desentralisasi seperti Paul Smoke, Roy Bahl, Anwar Shah, Jorge-Martinez dan kawan-kawannya itu mengungkapkan bahwa ada korelasi positif antara desentralisasi terhadap indikator yang tadi saya sebutkan diatas. Namun ngga kalah studi yang dilakukan oleh Kwan, Ziang, dan yang lainnya (maaf lupa..) mengatakan bahwa justeru yang terjadi adalah korelasi negatif. Nah lho.. bagaimana ini? Apakah ide desentralisasi yang digembar-gemborkan oleh lembaga donor itu sebenernya hanya jargon saja? Hmm.. kalo si Mandra ditanya, mungkin jawabannya 'Au ah elap'.. hehe..

Tentunya.. ini butuh banyak studi lagi tentang itu.. terutama tentang gimana impactnya di Indonesia. Wah, untuk mendapatkan resultnya, tunggu hasil disertasi saya yach.. nanti saya posting lagi.. hehe.. sekarang ini saya hanya baru mendapatkan segitu aja, dan yach.. apa salahnya disharing (ya ngga??).

Jadi.. seberapa sukses desentralisasi di Indonesia? Mungkin jawaban yang terlintas sama saya pada saat ini adalah kita bisa mengukurnya dengan income distribution antar daerah, bagaimana tingkat pendidikan -apakah sudah menjangkau sampai ke pelosok tanah air atau tidak, apakah dareah terpencil sudah bisa merasakan nikmatnya listrik dan air bersih, atau apakah kesehatan sudah menjangkau rata ke seluruh pelosok tanah air. Karena inti dari desentralisasi adalah 'internalising cost and benefit' untuk people.. so, bagaimana mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya, itulah esensi yang terpenting dari sebuah jargon 'desentralisasi'.