Friday, September 08, 2006

Canon Hill Park


Siang itu aku mencoba keluar dari gua aku di 58 Winnie Road. Aku ingin sejenak melupakan kepahitan-kepahitan duniawi yang sedang menghantuiku. Aku ingin kembali kepada pangkuan alam yang tenang. Meletakkan tubuhku di atas rumput, menikmati geliatnya sang surya, menghayati hembusan nafas pepohonan, dan sesekali mengintip segerombolan angsa yang sedang berceloteh ria di kolam.

Siang itu sengaja aku melangkahkan kaki ke Cannon Hill Park yang letaknya berdekatan dengan Edgbaston Cricket Ground. Lokasinya yang cukup kondusif untuk sebuah taman publik membuat ku semakin mantap melangkahkan kaki ke taman itu.

Siang itu aku engga sendirian. Banyak pasangan muda mudi, young parents dengan anak-anak mereka, granny, dan lonely lads-seperti aku sekarang ini. Mereka 'the lonely lads' terlihat sedang asik dengan dunianya masing-masing. Menikmati belaian lembut sang surya dan dewi angin, membaca "norwegian wood" racikan Haruki Murakami, atau sekedar manggut-manggut menikmati hentakan musik dari iPod nya.

Pemandangan seperti ini ngga dengan mudah ditemukan di Indonesia, apalagi di Jakarta. Hampir tidak ada ruang tersisa untuk taman publik seperti Cannon Hill Park ini. Ditambah lagi, amat sangat jarang penduduk Jakarta yang mau menghabiskan waktu di taman. Mereka lebih enjoy menghabiskan waktu di Plaza Senayan, Plangi, dan mall-mall terkemuka lainnya.
Walhasil, taman-taman publik yang semula diperuntukkan menjadi sarana rekreasi buat warga Jakarta, berubah menjadi kawasan menyeramkan karena sering dihuni oleh para berandalan, pemalak, pemabok, pemadat, dan kadang-kadang jadi kawasan transaksi kemaksiatan lainnya. Memang absurd banget kedengarannya, tapi begitulah potret nyata akhir sebuah taman publik di Jakarta. Hanya Taman Monas dan Taman Suropati aja yang sepertinya masih bisa dikatakan taman publik. Itupun setelah Sutiyoso harus bergelut dan 'bertempur' dengan para mantan penghuni Taman Monas yang notabene para pemalak, berandalan, perek, dan pedagang asongan.

Kembali ke suasana Cannon Hill Park. Suasana tenang dan aman sangat terasa. Waktu aku masuk ke gerbang taman, persis di depan gerbang ada tulisan gede-gede 'No Alcohol allowed'. Taman ini memang diperuntukkan khusus untuk sarana rekreasi warga Birmingham, khususnya warga Edgbaston. Jadi, Polisi juga udah stand by di sana-sini untuk mengamankan suasana di sekitar taman.

Aku mencari-cari tempat strategis untuk menggelar tikar. Tempat yang ngga terlalu panas, dan yang ngga terlalu adem. Maklum, kulit aku ngga gitu putih-putih banget kayak bule Birmingham, tapi ya ngga coklat kayak kebanyakan kulitnya orang Indonesia. Akhirnya aku pilih tempat yang dekat dengan kolam yang sedang dikelilingi oleh angsa-angsa yang sedang berceloteh dengan ria.

Anganku melambung sejenak saat aku merebahkan tubuhku di atas hamparan rumput yang lembut. Benderangnya mentari membuatku sejenak harus memoleskan sun block ke seluruh tubuhku. Entah ada tenaga dari mana, tapi suasana seperti ini cukup membuat batinku terhibur. Aku bisa relaksasi dan kembali merenungi kepahitan-kepahitan duniawi yang sedang menggayuti raga dan hati ku.

Andai aku bisa menari di awan dan bermain-main dalam gumpalan awan yang saat ini sedang berarak di atas langit Birmingham. Andai aku bisa menari bersama kedua angels ku yang saat ini sedang terlelap dalam mimpi mereka. Andai aku bisa menggapai semua angan dan harapan ku yang kemarin kandas. Andai aku bisa membuat bahagia semua orang yang ada disekelilingku.

Lamunanku cukup panjang di siang itu. Sampai akhirnya aku terjaga dengan sapaan seorang Granny yang dengan ramah menawari aku sandwich. Rupanya Granny itu butuh teman untuk bicara. Dari segi usia, Granny yang bernama Lisa ini ternyata seumuran dengan nenek aku. Nenek aku yang sedang tergeletak tak berdaya karena stroke. Tapi, granny Lisa ternyata masih sehat dan masih bisa menikmati indahnya summer time di Cannon Hill Park ini. Dia cukup bahagia karena dia masih bisa menikmati summer, setelah winter terpanjang dan terdingin tahun ini sempat membuat seluruh sendi-sendi tubuhnya serasa ngilu dan tak bisa digerakkan. Senyumnya cukup mengembang saat aku bantu dia membereskan peralatannya. Setelah setengah jam ngobrol dengan granny lisa, ia beranjak dan pamit pulang.. sendiri..
Granny lisa bertutur tentang dirinya di masa muda dan perjuangannya mengarungi hidup. Kenyataan bahwa suaminya meninggalkannya dan kelima anak mereka. Kenyataan hidup yang pahit untuk seorang wanita berusia 35 tahun pada saat itu. Terkadang kegagalan demi kegagalan kerap menghantui. Dengan selalu tersenyum menghadapi cobaan-cobaan duniawi, granny lisa mencoba memberikan pengalaman hidupnya padaku, seorang stranger yang baru dikenalnya.

Entah apa yang ada dalam benakku saat itu. Dalam hati aku marah pada diriku. Diriku yang baru 29 tahun tapi sudah rapuh dan tidak percaya diri. Diriku yang masih punya banyak tenaga dan pikiran, tapi seolah tak berdaya menghadapi permasalahan hidupku.

Well, semoga perjalanan ku siang ini memberikan sebuah pencerahan bagiku, bahwa tidak semua kegagalan harus berakhir dengan kegagalan. Bisa jadi sebuah kegagalan adalah sebuah proses dari sebuah kesuksesan. Mungkinkah itu terjadi padaku? Hanya Tuhan saja yang tahu...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home