Sunday, October 09, 2005

Korupsi.. akankah beranjak dari bumi Indonesia?


Korupsi..

Sepertinya itu bukan sebuah hot issue lagi di Indonesia, karena hampir semua lini di Indonesia sudah terjebak oleh sebuah lingkaran setan bertajuk "korupsi" ini.

Sebagai contoh yang paling up to date yang baru saya baca di Detik com, 9 miliar proyek di Deptan termasuk proyek vaksin flu burung diduga dikorup. Bagaimana pula orang yang tega mengambil keuntungan di tengah gundah gumalau peternak Indonesia yang berharap untuk mendapatkan vaksin tersebut untuk unggas-unggas mereka. Saya pribadi kepingin sekali melihat orang-orang seperti itu di publish di headline koran terkemuka di Indonesia biar mereka jera dan membuat pelajaran bagi orang lain untuk mengekor perbuatannya.

Belum lagi kasus Mafia Peradilan yang antara lain tersangkut satu nama public figur yang cukup handal ke profesionalitasannya, yaitu BM. Masyarakat bebas menilai siapa saja public figur yang bisa dijadikan contoh dan siapa saja yang hanya bisa dikenang sekejap saja. It's a free country where you have the rights to speak, to voice your opinions. Makanya, begitu kasus ini tercium di media massa, saya hanya bisa tersenyum menanggapi segitu banyaknya permasalahan korupsi di negeri tercinta saya itu.

Ada kejadian lucu waktu saya sedang mengerjakan rutinitas weekly saya ke Laundrette di Pritchatts Social Centre, saya bertemu dengan seorang student dari Amerika Serikat. Saat saya memperkenalkan diri kalo saya dari Indonesia, dia langsung berkomentar.. "hmmm, you're from the most corrupt country in the world". Segitu parah kah persepsi orang dari negara lain terhadap Indonesia? Dan, seberapa concern orang Indonesia terhadap permasalahan korupsi di negeri nya sendiri?? Saya yang saat ini bertindak sebagai human relation Indonesia di Birmingham hanya bisa berkomentar bahwa saat ini SBY sedang giat-giatnya berperang melawan korupsi dan menghukum para koruptor. Hopefully.. SBY, I count on your words! Please don't embarrased me in front of foreigners, it's hard to convince them that we are clean.. hik hik..

Pabila kita sekilas melihat dari sisi idealisme bagaimana sebuah sustainable democracy sebuah negara dalam memerangi korupsi, alangkah indahnya bila demokrasi itu dibarengi dengan tumbuhnya economic development, equality, political culture, dan development of civil society. Secara hitung-hitungan angka di BPS, fitur ekonomi Indonesia (pra kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan BBM) cukup membuat saya bernafas lega. Dengan ranking Human Development Index pada posisi 110 dan posisi Gross Domestic Product 115, Indonesia sudah mulai berangkat dari negara berkembang ke arah ekonomi dalam transisi (mudah-mudahan). Walau masih tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand yang masing2 berperingkat 83 dan 61, Indonesia sudah mulai menunjukkan gigi nya di mata dunia. Namun itu tadi hanya hitungan angka untuk menunjukkan perkembangan economic development Indo saja.

Bagaimana dengan permasalahan equality, political culture, dan development of civil society?

Terkait dengan equality, praktis ini harus secara jernih dihitung dengan kalkulasi statistical tools yang saya sendiri tidak tahu persisi bagaimana menghitungnya. Tapi secara kasar, saya melihat, sebenarnya policy yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah, sedikit banyak mengarah ke equality. Dalam hal dana yang didaerahkan, sebagai contoh, sebagian besar method dalam alokasinya sudah mempertimbangkan equality among regions (dalam hal ini untuk meminimalisasi horizontal imbalance) dan equality with central government (untuk mereduksi vertical imbalance). Tentunya, upaya ini harus terus dipantau oleh masyarakat sebagai bagian integral dalam civil society agar Pemerintah tidak berpaling dari objective yang telah ditetapkan semula.

Permasalahan yang terkait dengan political culture terkait dengan political attitude yang menjadi tulang punggung dalam berdemokrasi. Kurangnya komitmen political players (politikus) akan berdampak pada unsustainable democracy dan pengambilan kebijakan publik pada umumnya. Contoh baik dari negeri Latin Amerika dapat dijadikan panutan bagaimana sebuah komitmen politik yang cukup terbangun antara politicians dan government. Political culture yang terbangun dapat memperkuat pilar-pilar kebijakan pemerintah serta mengakomodasi berbagai kepentingan dengan atitude yang bijak. Mungkin ini sudah dipraktekkan di Indonesia, tapi apakah attitude yang baik sudah dipraktekkan oleh para politicians? Dunno.. saya tidak bisa berkomentar,, hehe...

Lastly, mengenai development of civil of society. Walaupun terdengar klise, tapi itu sangat krusial. Tanpa adanya empati, partisipasi, dan kerja sama yang intens antara massyarakat, pemerintah, dan politikus, saya rasa semua kebijakan pemerintah akan dianggap "tidak merakyat". Pendekatan yang integral dan mengaktifkan kembali program bilingual dua arah kepada masyarakat dapat dijadikan sarana pembelajaran masyarakat.

Tapi, untuk kasus Indonesia, apakah keempat hal tersebut bisa menjadi ramuan untuk mengurangi korupsi dan menciptakan sustainable democracy? Saya tidak tahu lah.. tapi hal-hal itu adalah prescription yang termaktub dalam text book yang sedang saya pelajari dan bahan assignment saya buat senin besok.. alamaaakk..

1 Comments:

Blogger Harry Makertia said...

Diperlukan sebuah tindakan radikal untuk memebrsihkan dan menggembosi mafia peradilan di negeri ini. Demikan Denny Indrayana di Tempo Interactive, dan saya sangat setuju!

9:49 PM  

Post a Comment

<< Home