Friday, September 08, 2006

Refleksi Merah Putih


Tidak seperti biasanya, hari ini seperti ada yang tidak biasa. Ada sesuatu yang mengganjal yang sepertinya tidak bisa saya hilangkan begitu saja.

Rasa gundah saya t erjawab dengan text dari salah satu teman di Amsterdam yang mengingatkan pada detik-detik proklamasi kemerdekaan RI. Saya tersadar bahwa berada jauh dari negeri tercinta, semangat dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara tetap saja ada. Seketika saya rindu dengan Indonesia.

Saya rindu dengan masa-masa kecil saya saat perayaan 17 Agustusan. Mulai dari pagi dimana harus ada ritual upacara di sekolah, sampai ikutan berbagai lomba yang diadakan di sekolah dan lingkungan RT. Walaupun tidak pernah menang, tapi at least, ada sesuatu yang tersirat dari perayaan tersebut sehingga saya sangat menantikan kedatangan hari kemerdekaan tersebut.
Saat ini saya terjaga dari lamunan masa kecil tentang indahnya perayaan 17 Agustus-an bagi seorang anak kecil. Yang kemudian tersisa adalah bagaimana merefleksikan gempitanya perayaan tersebut, bagaimana bisa merefleksikan kehadiran merah putih dalam jiwa dan hati saya?

Banyak kawan yang menyebut negara Indonesia dengan negara kampret. Jujur harus diakui, bahwa porsi rakyat kampret sudah cukup menggila. Politisi, pejabat pemerintahan, kalangan bisnis, bahkan kalangan pendidik, bisa terbilang kampret.

Politisi yang berpakaian perlente di DPR, berbondong-bondong 'merayakan' kemerdekaan di gedung DPR. Entah persepsi 'merayakan' apa yang mereka anut. 'Merayakan' kemerdekaan dari belenggu kemiskinan mereka sendiri, karena sebelum jadi politisi, mereka hanya bajingan tengik. Atau, apakah masih ada politisi tersebut yang memang membela kemiskinan rakyat? Itu patut dipertanyakan. Saya tidak bermaksud mengecilkan arti dari sebuah perjuangan sekelompok orang yang 'katanya' memperjuangkan nasib wong cilik. Wong cilik yang mana? Tukang becak? Tukang nasi pecel? Guru di daerah terpencil? Bagi saya, platform wong cilik yang diusung sekelompok orang ini juga belum jelas. Seandainya wong cilik tersebut akan dibela dan dibantu, seperti apakah bantuannya? Membagi-bagikan uang pada wong cilik tersebut? Itu juga sama tidak jelasnya.

Kemudian, para pejabat di lingkungan pemerintahan rame-rame berkumpul di lapangan upacara untuk mengenang detik-detik proklamasi dengan khidmat. Sepatah dua patah kata dari sang pemimpin upacara selalu mengorasikan hal-hal klise dimana kita harus bisa mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang. Kita juga harus bisa mensyukuri nikmat kemerdekaan yang telah kita raih. Tapi, bagaimana kita bisa merefleksikan pengorbanan para pahlawan itu disaat para pejabat di pemerintahan berlomba-lomba untuk korupsi? Pejabat di pusat maupun di daerah terlibat dalam korupsi secara berjamaah. Mungkin justifikasi 'manuasiawi' dan 'kewajaran' melakukan kowupsi yang berlaku di banyak tempat, bahkan di negara sekaliber Amerika, membuat para pejabat dan kalangan institusi pemerintahan semakin giat memupuk korupsi tersebut. Jika lingkaran setan korupsi berjamaah itu diputus, maka akan timbul lingkaran setan yang lain yang semakin sulit untuk ditembus.

Tidak hanya di jaringan Senayan dan institusi pemerintahan, gegap gempita perayaan 17 agustus juga dilakukan oleh pelaku bisnis. Dengan menebarkan spanduk-spanduk berisi mendukung penuh perayaan kemerdekaan dan jiwa kemerdekaan, pelaku bisnis -yang notabene kapitalis- tak lupa menyertakan simbol-simbol produk mereka sebagai sarana marketing mereka. Semua juga tidak terlepas dari propaganda kapitalis barat yang mencoba menginflitrasi ke dalam sendi perekonomian. Justifikasi globalisasi, perluasan investasi demi efisiensi, serta pertumbuhan ekonomi adalah alasan mujarab yang dilontarkan oleh ekonom neo-liberalism. Demi alasan tersebut pula lah, pelaku bisnis mulai mengepakkan sayap mereka dengan merayu para pejabat dan koruptor ulung untuk menelurkan kredit ringan yang akhirnya membuahkan bencana bagi anggaran negara. Kasus BLBI yang tidak tuntas-tuntas sampai sekarang semakin blur dan tidak bisa lagi dilihat dengan kaca mata telanjang.

Refleksi tadi merupakan bentuk ajaib wajah negara yang mendapatkan kemerdekaan sejak tahun 1945. Sebenarnya patut dipertanyakan apakah memang para pahlawan kita berjuang mati-matian untuk kemerdekaan ataukah kita menghiba-hiba untuk mendapatkan kemerdekaan? Karena, kalo kita menilik sejarah, kita adalah bangsa tertindas yang diuntungkan dengan adanya World War yang membuat Jepang harus bertekuk lutut dengan pasukan sekutu. Kecanggihan negosiasi para the founding fathers juga yang bisa membuat Indonesia merdeka.

Namun, sebuah negosiasi tidak hanya menguntungkan satu pihak saja. Tetap ada conditionality di balik semua negosiasi. Entah negosiasi seperti apa yang dulu dilakukan oleh SOekarno cs waktu mengadakan serangkaian perundingan-perundingan. Entah mengapa pula Kerajaan Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 2004 yang lalu. Itu menjadi sebuah tanda tanya buat saya, dan tentunya buat rakyat Indonesia yang juga concern.

Seorang anak kecil mungkin akan membayangkan sebuah perayaan 17 Agustus sebagai ajang lomba makan kerupuk, joget balon, gigit kelereng, atau karnaval sepeda hias. Anak kecil tersebut tida k salah, karena hanya itu yang dia tahu tentang makna hari kemerdekaan. Bahkan jiwa dan semangat hari kemerdekaan ini tidak saya temukan sampai saya memasuki bangku sekolah menengah umum. Yang ada di otak saya adalah menang lomba di sekolah.

Mungkin refleksi merah putih ini bisa membangunkan saya dari hanya sekedar memenangkan lomba di perayaan 17 Agustusan. Mungkin pula refleksi ini bisa membangunkan saya untuk bisa memberi arti dan kontribusi yang terbaik bagi negara yang bersimbol merah putih ini.


Selamat ulang tahun, Indonesia

0 Comments:

Post a Comment

<< Home