Tuesday, March 14, 2006

London Indonesian Film Screening

Hari Sabtu dan Minggu (11-12 Maret 2006) lalu ada sebuah event yang cukup menarik di London. Namanya London Film Screening. Dalam film itu, ditampilkan beberapa film Indonesia karya sineas besar, seperti Riri Riza, Mira Lesmana, Lola Amaria, de el el.. Deretan film yang ditayangkan juga film-film berkualitas yang sudah ditampilkan di berbagai festival dunia, seperti Gie, Daun di atas Bantal, Arisan, Kuldesak, dan Novel tanpa huruf R. Dan yang paling menarik, pasukan sineas tersebut diboyong ke London dalam rangka Tour de UK. Nicolas Saputra, Mira Lesmana dan Riri Riza meramaikan Tour de UK dalam rangka film screening tersebut.

Hasil pengamatan saya dari penyelenggaraan event tersebut adalah masih tingginya minat orang luar -terutama masyarakat London- terhadap dunia perfilman Indonesia. Selama tiga hari penyelenggaraannya di SOAS (School of Oriental and African Studies), lecture theathres tempat ditayangkannya film-film tersebut cukup diramaikan oleh para penikmat film, yang kebanyakan kaum bule. Sebagai partisipan, saya cukup salut dengan kegigihan panitia yang telah bekerja keras untuk menyuguhkan sebuah event yang sungguh membanggakan ini.

Ada satu orang bule yang duduk disebelah saya waktu pemutaran novel tanpa huruf R, dia sangat antusias dengan film Indonesia karena -katanya- film Indonesia cukup complicated dan sangat menantang. Dari segi sinematografi, terlihat betapa sineas Indonesia cukup menguasai tekhnologi di bidang perfilman dan sangat mementingkan dari segi artistik. Engel-engel dan snapshot yang disuguhkan dalam film-film Indonesia yang ditayangkan hari itu memang terbilang istimewa. Saya sendiri kagum dengan 'kebisaan' anak muda Indonesia yang udah memproduksi film yang sangat artistik. Artistik dari segi alur cerita, pengambilan gambar, dialog, dan musik.

Namun, terkadang ada saja yang terlupa -ya, walau saya menganggapnya itu sebagai hal yang manusiawi. Terkadang film Indonesia lebih cenderung menonjolkan sisi complicated sehingga melupakan bagaimana reaksi penonton setelah menonton film tersebut. Karena terus terang ngga gampang menterjemahkan film yang -katanya- bermutu tersebut ke dalam bahasa keseharian. Buat segelintir orang yang 'cerdas' tentunya akan menyikapinya dengan perasaan yang luar biasa. Namun buat orang yang 'malas' untuk berpikir yang too complicated, pada akhir pemutaran film, mereka akan berseloroh .."duh, film ini apaan sich maksudnya? kaga ngarti gua.."

Ya, walau Riri Riza bilang "let the audience translated" tetapi kalo pesan yang hendak disampaikan si pembuat film terhadap filmnya ngga sampai, berarti si sineas itu gagal dong untuk menyampaikan pesannya. Ya, itu cuman analogi sempit aja. Memang ngga semuanya harus diartikan secara harafiah -walau keterbatasan akal juga mempengaruhi penilaian terhadap sesuatu.

Kemudian, ada satu lagi yang mungkin terlewatkan oleh sineas tersebut. Detail film tersebut. Sebagai contoh, dalam menggambarkan sosok Soe Hok Gie yang gemar naik gunung, dalam film tersebut tidak begitu ditonjolkan profil seorang 'pencinta alam' dalam diri Gie. Sebagai salah seorang pencinta alam, saya cukup tergelitik saat menit-menit terakhir dimana digambarkan Gie pergi ke Gunung Semeru dan menemui ajalnya disana karena menghirup gas beracun di Semeru. Naluri saya sebagai pencinta alam adalah Semeru itu adalah gunung yang cukup tinggi. Dan untuk mencapai Semeru, dibutuhkan waktu yang cukup lama serta persiapan perbekalan yang cukup heboh. Itu ditandai dengan besarnya back pack yang biasanya dibawa oleh climber untuk mencapai Semeru. Namun dalam film tersebut, Gie hanya digambarkan membawa tas kecil dan baju yang tidak menggambarkan profil seorang climber. Buat saya, scene tersebut kurang masuk akal jika si sineas ingin menggambarkan adegan Gie sedang ke gunung Semeru. Saya sendiri agak surprais dengan adegan tersebut, yang ternyata menggambarkan Gie benar-benar sedang berada di Gunung Semeru. Hal ini sempat saya tanyakan sama Nico, apakah benar syutingnya di gunung beneran.. dan ternyata memang di gunung beneran.

Well, memang tidak ada yang sempurna.. seperti kata Mbak Mira -waktu saya tanya apakah para pembuat film Gie tersebut puas atau tidak dengan hasil yang mereka produksi- bahwa tidak ada kepuasan yang abadi, yang ada hanyalah kepuasaan sesaat yang memacu kita untuk terus menyuguhkan yang terbaik. Kelemahan yang kita buat hari ini harus bisa menjadi 'lecutan' bagi karya-karya selanjutnya. Tentunya saya sangat menghargai jerih payah Mbak Mira, Mas Riri Riza, dan tentu saja Nicolas Saputra yang telah bekerja keras untuk menyuguhkan yang terbaik untuk audiens.

Bravo untuk perfilman Indonesia.

Bravo untuk panitia LIFS.

Bravo untuk Citra, Tika, Mbak Eni, Djatu, Mas Dedy, Ozzy, dan tentu saja teman seperjuangan saya -Bisma- yang telah menemani selama di London.