Friday, September 08, 2006

Is decentralisation shifting corruption to local level in Indonesia?


The shift from ‘central corruption’ towards ‘local corruption’ has been enormously discussed since the decentralisation has been initiated during the Habibie administration.

Since then, we are witnessing the emergence of ‘raja kecil’ (a little king) to quote the corruption practices done by the local officials.

In principle, the essence of a decentralised government system is bringing the government closer to the people. By doing so, this would make the process of identification and the supply of public services easier.

Are these phenomena in Indonesia reflected as euphoria of freedom obtaining from the new order regime?

It is obvious that for some people concerned that there was lack of law enforcement in the former law of regional autonomy (Law 25 of 1999). The law has mandated powers to local governments whilst the power to monitor the mandated authorities was blur.

Some embezzlements committed by former governors, mayors, or even members of legislative members in some regions have reminded us of how these ‘new’ powers are fragile.

The Committee Corruption Eradication reported that corruption practices have been done by DPRD and executive in 49 regions since the reformation era. (Tempo interaktif /2 March 2006)

One may ask what might be the cause and to what extent this corruption practices have been done in local levels?

I believe it is because of a considerable amount of money transferred to local government has become the roots of the problem. Such allegation might work well since there was at about 60% increase of money allocated to local government during 2001 to 2006 in term of intergovernmental transfers.

Having had lack of well-prepared local officials, particularly at the lower line, then the embezzlement’s practise becomes unavoidable.

In principle, the provision of public services will fringe the willingness to pay from the people. This has been believed as the essential means of decentralisation, that is, a commitment between local government and the people.

Local governments need money to finance the budget, whereas the people need provision of services from local government due to the merits of the goods or services. When the two have mutual understanding, this would ideally lead to an effective provision of goods or services.

However, power tends to corrupt.

Corruption could take place anywhere and could be committed by anyone. It could occur in government institution, parliament, and business centre, even in school or parking lot.

Olken, a junior fellow at Harvard Society of Fellows, conducted a study on decentralization in Indonesia. The study suggests that grassroots monitoring in the missing expenditures in over 600 village road projects might be prone to capture by local elites. Thus, the study estimates that on average 28% of the fund for road village projects went missing, purportedly because the road builders skimped on materials.

This kind of practices is clearly not something unique in developing world.

If we look at the experience in Tanzania, one of the poorest countries in the world and where their economy depends heavily on agriculture, it is observed that fiscal administrations are highly corrupt during 1996-2003.

Such corruption practise was partly due to the high degree of discretionary fiscal power held by local officials and poor monitoring from the higher level of government.

The forms of fraud include the types of taxes, methods of tax collection, and the embezzlement of revenues by tax collectors and administrators. From this standpoint, giving a greater authority on taxing power evidently poses a problem in Tanzania. This condition is worsened by inadequate control from central government.

Having considered this, giving greater discretion to lower level of government is purportedly given a greater opportunity of corruption at the local level.

In balance, there are also studies which have revealed a negative correlation between decentralisation and the level of corruption. One study mentioned that decentralisation will support greater accountability in the public sector, and reduce corruption. The other found a significantly positive effect of expenditure decentralisation on per capita infrastructure deliveries.

From these studies, I can drop the line that decentralisation has been followed by a shift of corruption from the central level to local level.

The captured of revenue resources by local elites has influenced political accountability of the country, both by the local executives and legislatives.

Embezzlement of taxpayers’ money has been allegedly occurred in many countries. Some studies in relation to this have been revealed the same notion. In addition, greater degree of local discretion towards revenue-raising power in some cases has caused fraud in local level.

This particular case is worsened by either the absence or lesser monitoring from central government.

Having said this, it is substantially difficult to eliminate corruption from elsewhere in the world. A democratic decentralised system itself cannot guarantee that the provision of goods or services would be more effective and efficient.

What matters are the needs of consistency and sustainability of political will throughout the countries. Hence, whoever provides the merit goods or services, it requires a political back up and monitoring from the people.

Political back up and monitoring includes commitment in central-local relations as well as the empowerment of local democracy

Oleh-oleh dari Budapest

Cerita ini berawal dari lawatan saya beberapa waktu lalu ke Budapest, ibukota Hungary. Saya menyempatkan diri untuk meng-explore kota terindah di Central Europe itu selama 2 minggu.
Budapest sangat indah. Dengan Danube river-nya. Dengan Buda var-nya. Dengan danau Balaton-nya. Dengan keramahan orang-orangnya.

Sebelum saya memutuskan diri untuk berlibur di Budapest, terbayang betapa angkuh dan arogannya orang-orang Eropa Timur dengan stigma eks-negara komunis. Entah mungkin persepsi itu hasil dari propaganda Amerika yang sudah berhasil ditanamkan di benak saya, ataukah memang kenyataan nya seperti itu.

Tapi, alangkah terkejutnya saya melihat kenyataan yang sebenarnya. Budapest dan orang-orangnya sangat ramah. Walau mereka memang jarang tersenyum -itu mungkin sudah default mereka- tetapi perilaku mereka tidak se-angker propaganda Amerika tadi.

Satu hal yang membuat saya kagum. Negara tersebut baru mulai menggeliat dari keterpurukan Uni Sovyet sekitar tahun 1997. Persis dengan tahun dimana krisis ekonomi yang menimpa Indonesia. Tapi, kemajuan yang sudah mereka raih sungguh ajaib. Banyak isu berredar tentang kemajuan Hungary dibanding dengan negara- negara eropa timur lainnya. Salah satu isu yang cukup santer adalah kehadiran jewish yang cukup dominan di negara itu. Dan kalau saya melihat dengan kepala sendiri, memang benar isu tersebut. George Soros sangat berperan di negara tersebut. Bahkan, di jantung kota Budapest, berdiri dengan megah Synagoge yahudi. Selidik punya selidik, bangsa hungaria memiliki keterikatan yang cukup dalam kepada bangsa yahudi. So, isu tersebut ternyata benar adanya.

Sejenak, saya ingat diskusi saya dengan teman serumah saya tadi malam. Betapa powerfulnya bangsa yahudi ini sehingga mereka seolah-olah menjadi 'invisible hand' dibalik kekuasaan yang ada di dunia. Lihat saja kejadian di Lebanon. Ngga ada satupun yang berani mengutuk dan memberi sanksi pada Israel. Kenapa? Karena semua orang sudah jadi bangsa yahudi, apalagi Amerika dan Inggris.

Tapi, sudahlah. Kembali ke Budapest.

Kota ini sebenarnya terdiri dari dua wilayah: Buda dan Pest. Kedua wilayah ini dipisahkan oleh Danube river, dan ada sekitar 5 jembatan yang menghubungkan antara Buda dan Pest. Buda adalah wilayah yang lebih tenang dan lebih cantik. Di Buda ini lah terdapat tempat-tempat atraktif yang sangat membelakakkan mata. Buda Var, St Martin Church, Centinel. Beberapa lokasi Bath and Spa juga banyak di sini. Ngga hearan banyak hotel-hotel disini. Sementara itu, Pest adalah pusat bisnis. Banyak kantor-kantor, pertokoan, dan klub malam di sepanjang Pest.
Buda dan Pest hidup dalam keteraturan mereka. Lokasi perumahan, pusat bisnis, bahkan pariwisata, sudah di set sedemikian rupa supaya tidak campur aduk. Ini juga memudahkan dalam mengorganisir public transportasi. Di Buda dan Pest, selain transportasi reguler seperti bus dan metro (underground), mereka juga memiliki trem yang menghubungkan pusat-pusat strategis. Selama 2 minggu kunjungan saya disana, praktis saya sangat nyaman menikmati public transportation dan tidak pernah kepikiran untuk naik taksi.

Itulah, kenapa Jakarta tidak bisa mencontoh seperti itu ya? Hmm.. Mungkin Pak Sutiyoso sebaiknya harus study banding ke Budapest, daripada study banding ke Brasil beberapa waktu lalu untuk mempelajari sistem transportasi disana.

Gimana, Pak Sutiyoso.. nanti saya temenin kalo mau ke Budapest.. hehehe

Refleksi Merah Putih


Tidak seperti biasanya, hari ini seperti ada yang tidak biasa. Ada sesuatu yang mengganjal yang sepertinya tidak bisa saya hilangkan begitu saja.

Rasa gundah saya t erjawab dengan text dari salah satu teman di Amsterdam yang mengingatkan pada detik-detik proklamasi kemerdekaan RI. Saya tersadar bahwa berada jauh dari negeri tercinta, semangat dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara tetap saja ada. Seketika saya rindu dengan Indonesia.

Saya rindu dengan masa-masa kecil saya saat perayaan 17 Agustusan. Mulai dari pagi dimana harus ada ritual upacara di sekolah, sampai ikutan berbagai lomba yang diadakan di sekolah dan lingkungan RT. Walaupun tidak pernah menang, tapi at least, ada sesuatu yang tersirat dari perayaan tersebut sehingga saya sangat menantikan kedatangan hari kemerdekaan tersebut.
Saat ini saya terjaga dari lamunan masa kecil tentang indahnya perayaan 17 Agustus-an bagi seorang anak kecil. Yang kemudian tersisa adalah bagaimana merefleksikan gempitanya perayaan tersebut, bagaimana bisa merefleksikan kehadiran merah putih dalam jiwa dan hati saya?

Banyak kawan yang menyebut negara Indonesia dengan negara kampret. Jujur harus diakui, bahwa porsi rakyat kampret sudah cukup menggila. Politisi, pejabat pemerintahan, kalangan bisnis, bahkan kalangan pendidik, bisa terbilang kampret.

Politisi yang berpakaian perlente di DPR, berbondong-bondong 'merayakan' kemerdekaan di gedung DPR. Entah persepsi 'merayakan' apa yang mereka anut. 'Merayakan' kemerdekaan dari belenggu kemiskinan mereka sendiri, karena sebelum jadi politisi, mereka hanya bajingan tengik. Atau, apakah masih ada politisi tersebut yang memang membela kemiskinan rakyat? Itu patut dipertanyakan. Saya tidak bermaksud mengecilkan arti dari sebuah perjuangan sekelompok orang yang 'katanya' memperjuangkan nasib wong cilik. Wong cilik yang mana? Tukang becak? Tukang nasi pecel? Guru di daerah terpencil? Bagi saya, platform wong cilik yang diusung sekelompok orang ini juga belum jelas. Seandainya wong cilik tersebut akan dibela dan dibantu, seperti apakah bantuannya? Membagi-bagikan uang pada wong cilik tersebut? Itu juga sama tidak jelasnya.

Kemudian, para pejabat di lingkungan pemerintahan rame-rame berkumpul di lapangan upacara untuk mengenang detik-detik proklamasi dengan khidmat. Sepatah dua patah kata dari sang pemimpin upacara selalu mengorasikan hal-hal klise dimana kita harus bisa mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang. Kita juga harus bisa mensyukuri nikmat kemerdekaan yang telah kita raih. Tapi, bagaimana kita bisa merefleksikan pengorbanan para pahlawan itu disaat para pejabat di pemerintahan berlomba-lomba untuk korupsi? Pejabat di pusat maupun di daerah terlibat dalam korupsi secara berjamaah. Mungkin justifikasi 'manuasiawi' dan 'kewajaran' melakukan kowupsi yang berlaku di banyak tempat, bahkan di negara sekaliber Amerika, membuat para pejabat dan kalangan institusi pemerintahan semakin giat memupuk korupsi tersebut. Jika lingkaran setan korupsi berjamaah itu diputus, maka akan timbul lingkaran setan yang lain yang semakin sulit untuk ditembus.

Tidak hanya di jaringan Senayan dan institusi pemerintahan, gegap gempita perayaan 17 agustus juga dilakukan oleh pelaku bisnis. Dengan menebarkan spanduk-spanduk berisi mendukung penuh perayaan kemerdekaan dan jiwa kemerdekaan, pelaku bisnis -yang notabene kapitalis- tak lupa menyertakan simbol-simbol produk mereka sebagai sarana marketing mereka. Semua juga tidak terlepas dari propaganda kapitalis barat yang mencoba menginflitrasi ke dalam sendi perekonomian. Justifikasi globalisasi, perluasan investasi demi efisiensi, serta pertumbuhan ekonomi adalah alasan mujarab yang dilontarkan oleh ekonom neo-liberalism. Demi alasan tersebut pula lah, pelaku bisnis mulai mengepakkan sayap mereka dengan merayu para pejabat dan koruptor ulung untuk menelurkan kredit ringan yang akhirnya membuahkan bencana bagi anggaran negara. Kasus BLBI yang tidak tuntas-tuntas sampai sekarang semakin blur dan tidak bisa lagi dilihat dengan kaca mata telanjang.

Refleksi tadi merupakan bentuk ajaib wajah negara yang mendapatkan kemerdekaan sejak tahun 1945. Sebenarnya patut dipertanyakan apakah memang para pahlawan kita berjuang mati-matian untuk kemerdekaan ataukah kita menghiba-hiba untuk mendapatkan kemerdekaan? Karena, kalo kita menilik sejarah, kita adalah bangsa tertindas yang diuntungkan dengan adanya World War yang membuat Jepang harus bertekuk lutut dengan pasukan sekutu. Kecanggihan negosiasi para the founding fathers juga yang bisa membuat Indonesia merdeka.

Namun, sebuah negosiasi tidak hanya menguntungkan satu pihak saja. Tetap ada conditionality di balik semua negosiasi. Entah negosiasi seperti apa yang dulu dilakukan oleh SOekarno cs waktu mengadakan serangkaian perundingan-perundingan. Entah mengapa pula Kerajaan Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 2004 yang lalu. Itu menjadi sebuah tanda tanya buat saya, dan tentunya buat rakyat Indonesia yang juga concern.

Seorang anak kecil mungkin akan membayangkan sebuah perayaan 17 Agustus sebagai ajang lomba makan kerupuk, joget balon, gigit kelereng, atau karnaval sepeda hias. Anak kecil tersebut tida k salah, karena hanya itu yang dia tahu tentang makna hari kemerdekaan. Bahkan jiwa dan semangat hari kemerdekaan ini tidak saya temukan sampai saya memasuki bangku sekolah menengah umum. Yang ada di otak saya adalah menang lomba di sekolah.

Mungkin refleksi merah putih ini bisa membangunkan saya dari hanya sekedar memenangkan lomba di perayaan 17 Agustusan. Mungkin pula refleksi ini bisa membangunkan saya untuk bisa memberi arti dan kontribusi yang terbaik bagi negara yang bersimbol merah putih ini.


Selamat ulang tahun, Indonesia

Canon Hill Park


Siang itu aku mencoba keluar dari gua aku di 58 Winnie Road. Aku ingin sejenak melupakan kepahitan-kepahitan duniawi yang sedang menghantuiku. Aku ingin kembali kepada pangkuan alam yang tenang. Meletakkan tubuhku di atas rumput, menikmati geliatnya sang surya, menghayati hembusan nafas pepohonan, dan sesekali mengintip segerombolan angsa yang sedang berceloteh ria di kolam.

Siang itu sengaja aku melangkahkan kaki ke Cannon Hill Park yang letaknya berdekatan dengan Edgbaston Cricket Ground. Lokasinya yang cukup kondusif untuk sebuah taman publik membuat ku semakin mantap melangkahkan kaki ke taman itu.

Siang itu aku engga sendirian. Banyak pasangan muda mudi, young parents dengan anak-anak mereka, granny, dan lonely lads-seperti aku sekarang ini. Mereka 'the lonely lads' terlihat sedang asik dengan dunianya masing-masing. Menikmati belaian lembut sang surya dan dewi angin, membaca "norwegian wood" racikan Haruki Murakami, atau sekedar manggut-manggut menikmati hentakan musik dari iPod nya.

Pemandangan seperti ini ngga dengan mudah ditemukan di Indonesia, apalagi di Jakarta. Hampir tidak ada ruang tersisa untuk taman publik seperti Cannon Hill Park ini. Ditambah lagi, amat sangat jarang penduduk Jakarta yang mau menghabiskan waktu di taman. Mereka lebih enjoy menghabiskan waktu di Plaza Senayan, Plangi, dan mall-mall terkemuka lainnya.
Walhasil, taman-taman publik yang semula diperuntukkan menjadi sarana rekreasi buat warga Jakarta, berubah menjadi kawasan menyeramkan karena sering dihuni oleh para berandalan, pemalak, pemabok, pemadat, dan kadang-kadang jadi kawasan transaksi kemaksiatan lainnya. Memang absurd banget kedengarannya, tapi begitulah potret nyata akhir sebuah taman publik di Jakarta. Hanya Taman Monas dan Taman Suropati aja yang sepertinya masih bisa dikatakan taman publik. Itupun setelah Sutiyoso harus bergelut dan 'bertempur' dengan para mantan penghuni Taman Monas yang notabene para pemalak, berandalan, perek, dan pedagang asongan.

Kembali ke suasana Cannon Hill Park. Suasana tenang dan aman sangat terasa. Waktu aku masuk ke gerbang taman, persis di depan gerbang ada tulisan gede-gede 'No Alcohol allowed'. Taman ini memang diperuntukkan khusus untuk sarana rekreasi warga Birmingham, khususnya warga Edgbaston. Jadi, Polisi juga udah stand by di sana-sini untuk mengamankan suasana di sekitar taman.

Aku mencari-cari tempat strategis untuk menggelar tikar. Tempat yang ngga terlalu panas, dan yang ngga terlalu adem. Maklum, kulit aku ngga gitu putih-putih banget kayak bule Birmingham, tapi ya ngga coklat kayak kebanyakan kulitnya orang Indonesia. Akhirnya aku pilih tempat yang dekat dengan kolam yang sedang dikelilingi oleh angsa-angsa yang sedang berceloteh dengan ria.

Anganku melambung sejenak saat aku merebahkan tubuhku di atas hamparan rumput yang lembut. Benderangnya mentari membuatku sejenak harus memoleskan sun block ke seluruh tubuhku. Entah ada tenaga dari mana, tapi suasana seperti ini cukup membuat batinku terhibur. Aku bisa relaksasi dan kembali merenungi kepahitan-kepahitan duniawi yang sedang menggayuti raga dan hati ku.

Andai aku bisa menari di awan dan bermain-main dalam gumpalan awan yang saat ini sedang berarak di atas langit Birmingham. Andai aku bisa menari bersama kedua angels ku yang saat ini sedang terlelap dalam mimpi mereka. Andai aku bisa menggapai semua angan dan harapan ku yang kemarin kandas. Andai aku bisa membuat bahagia semua orang yang ada disekelilingku.

Lamunanku cukup panjang di siang itu. Sampai akhirnya aku terjaga dengan sapaan seorang Granny yang dengan ramah menawari aku sandwich. Rupanya Granny itu butuh teman untuk bicara. Dari segi usia, Granny yang bernama Lisa ini ternyata seumuran dengan nenek aku. Nenek aku yang sedang tergeletak tak berdaya karena stroke. Tapi, granny Lisa ternyata masih sehat dan masih bisa menikmati indahnya summer time di Cannon Hill Park ini. Dia cukup bahagia karena dia masih bisa menikmati summer, setelah winter terpanjang dan terdingin tahun ini sempat membuat seluruh sendi-sendi tubuhnya serasa ngilu dan tak bisa digerakkan. Senyumnya cukup mengembang saat aku bantu dia membereskan peralatannya. Setelah setengah jam ngobrol dengan granny lisa, ia beranjak dan pamit pulang.. sendiri..
Granny lisa bertutur tentang dirinya di masa muda dan perjuangannya mengarungi hidup. Kenyataan bahwa suaminya meninggalkannya dan kelima anak mereka. Kenyataan hidup yang pahit untuk seorang wanita berusia 35 tahun pada saat itu. Terkadang kegagalan demi kegagalan kerap menghantui. Dengan selalu tersenyum menghadapi cobaan-cobaan duniawi, granny lisa mencoba memberikan pengalaman hidupnya padaku, seorang stranger yang baru dikenalnya.

Entah apa yang ada dalam benakku saat itu. Dalam hati aku marah pada diriku. Diriku yang baru 29 tahun tapi sudah rapuh dan tidak percaya diri. Diriku yang masih punya banyak tenaga dan pikiran, tapi seolah tak berdaya menghadapi permasalahan hidupku.

Well, semoga perjalanan ku siang ini memberikan sebuah pencerahan bagiku, bahwa tidak semua kegagalan harus berakhir dengan kegagalan. Bisa jadi sebuah kegagalan adalah sebuah proses dari sebuah kesuksesan. Mungkinkah itu terjadi padaku? Hanya Tuhan saja yang tahu...

The Colors of Life


Imagine if there is only black and white colors in the world. It's absolutely boring, although some might say that black and white are real and live. The very life sense from black and white is due to their complicated meaning that can be reflected from different kinds of angle. However, Im still thinking that black and white are the boring colors.

My favourite color is purple. For me, purple reflects purity, honest, soft, tender, caring to others, passion, hard working, confirmity, and sometime vulnerable. I've just come accross that my life is somehow identical with the color that I adore. I can be a strong person, but eventually Im so vulnerable. I tend to be optimistic with my life, but not only once that I intended to end my life. My life is so complicated, just like my perception of the 'purple'.

However, you cant only count on one color in your life. Sometimes it can be mixed with the other colors. Sometimes you can be black, white, purple, red, yellow.. All depends on what you choose in life. Life is about deciding the choices due to the scarcity of resources of life that you have. You only have some choices, thus it is impossible to reach all the possibilities in life. You can choose your thrill life, your easy going life, your serious life, or your well-planning life. For me, sometimes I choose the thrill life coz I like challenge and a bit thrill in my life. I dont have any planning in life, whilts some friends told me that it's not good for me. They say I might need a bit plan for the life. Hence, I need to put a red color in life. Red confirms a strong and confident manner. Red is good to reflect a well-plan life.

Well, the colors of life will guide you to the life you want. I choose purple because I wanna be a tender person and still have the hearts for the other people. I wanna be flexible with myself and other people. The sunshine today is for me and for everybody. Let me share my purple life to everybody as well.