Saturday, September 09, 2006

Belajar Terbiasa Dengan Globalisasi


Kata-kata globalisasi tentunya bukan hal yang asing buat kita. Maknanya bisa luas; bisa mencakup hubungan politik internasional, perdagangan, ekonomi, komunikasi, sampai badan intelijen.

Buat saya, makna globalisasi tidak lain adalah pertukaran informasi. Dengan adanya globalisasi, kita jadi tahu apa yang terjadi di Libanon saat digempur pasukan Israel. Kita juga tahu bahwa ada busung lapar di Ethiopia dan negara-negara Afrika. Dengan globalisasi, kita juga bisa ikutan mengutuk Bill Clinton saat terlibat skandal dengan Monica Lewinski.

Itulah hebatnya globalisasi.

Kita bisa menikmati gurihnya KFC dan McDonald. Kita juga bisa dengan leluasa menelpon pacar dengan HP Nokia buatan Findland. Kita juga bisa dengan mudah berkomunikasi via Skype buatan Estonia untuk menghubungi teman dan sahabat kita yang ada di luar negeri. Selain itu, kita juga bisa jalan gaya dengan tas Gucci dan jam Benetton untuk berangkat kerja.

Itulah hebatnya globalisasi.

Banyak orang yang kagum dengan kecanggihan globalisasi. Banyak pula yang mengecam bahaya dibalik globalisasi. Bahaya akibat kapitalisme dan konsumerisme selalu diusung kaum penggugat globalisasi.

Tapi, lagi-lagi, itulah hebatnya globalisasi.

Rasa ketakutan yang berlebihan bisa ditepiskan dengan serentetan keuntungan yang diberikan dalam globalisasi. Kemudahan komunikasi dan jaringan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, sampai kepada akses ke lembaga peminjam internasional.

Namun, saya tidak mau beropini terhadap serentetan keuntungan tersebut. Selain udah basi dan terlalu sering diusung oleh orang lain, saya ingin memberikan sedikit wacana tentang globalisasi dari sudut pandang yang lain, yaitu mengenai pertukaran informasi.
Pertukaran informasi menjadi krusial agar kita bisa cope dengan lingkungan dan perubahan dunia yang demikian cepat. Bagaimana kita bisa dengan mudah beradaptasi dengan perubahan tersebut dan bisa berkompetisi dengan orang-orang dari negara lain?

Tentunya kita harus bisa menguasai alat komunikasi, yaitu melalui bahasa. Saat ini, dunia mengenal 6 jenis bahasa yang diakui secara internasional, yaitu bahasa inggris, perancis, jerman, china, spanyol, dan arab. Keenam bahasa asing ini diyakini sebagai bahasa internasional berdasarkan populasi yang menggunakan bahasa tersebut.

Kita kecilkan ke dalam bahasa inggris saja. Sejak saya TK sampai sekarang, pelajaran bahasa inggris sudah menjadi lalapan saya sehari-hari. Saya masih ingat betapa orang tua sangat menggembleng saya untuk bisa mahir berbahasa Inggris. Alasan mereka, kalo saya ingin maju dan bisa menembus dunia internasional, saya harus pintar bahasa inggris. Tentunya, buah ini saya petik sekarang. Saya bisa confidence cas cis cus berkomunikasi dengan orang lain di negara nya Prince William ini, karena saya dulu begitu menghayati pentingnya bahasa inggris ini.

Namun, seiring waktu dan jam terbang saya menembus dunia internasional, saya semakin ragu dengan ide globalisasi dari perspektif bahasa sebagai alat komunikasi global. Dalam beberapa kiprah saya di beberapa negara eropa -yang notabene dekat dengan negara Inggris- masih banyak masyarakatnya yang tidak mau dan tidak bisa bahasa inggris. Tak terkecuali dengan orang Perancis yang dulu terkenal anti dengan bahasa inggris. Kesulitan berkomunikasi juga kerap saya jumpai di negara-negara eropa timur, walau sebenarnya hal tersebut wajar aja karena mereka baru saja menggeliat dari rejim komunis pasca kejatuhan Uni Sovyet.

Bahkan, dalam kunjungan saya ke Markas PBB di Vienna beberapa waktu lalu, ada cerita bahwa bahasa inggris ternyata bukanlah menjadi bahasa pengantar dalam rapat pleno di PBB. Argumen yang diberikan adalah lebih kepada kenyamanan dan kepercayaan dalam berkomunikasi. Untuk itu, peran interpreter atau penerjemah sangat krusial untuk menjembatani language problem tersebut.

Dari sini saya kemudian mencoba mencari, apakah benar justifikasi ayah saya bahwa kalo saya ingin terjun ke dunia internasional saya harus pintar bahasa inggris?

Saya kemudian teringat dengan kejadian lucu dan cukup memalukan yang dialami Nadine, seorang putri cantik Indonesia yang diikutkan dalam acara Miss Universe 2006. Mungkin masih ramai dibicarakan di milis-milis betapa memalukanya seorang putri cantik Indonesia tidak bisa berkomunikasi secara lancar dalam bahasa Inggris di ajang internasional.

Tapi, lagi-lagi, Nadine bukanlah perempuan super. Dia memang cantik dan berbakat. Hanya saja kemampuan bahasa Inggris dia perlu diasah lagi kalau dia ingin lebih confidence dalam berbicara dalam bahasa asing.

Tapi Nadine juga tidak salah. Bahasa Inggris belum lah menjadi second language di Indonesia. Nadine mungkin tidak berkomunikasi secara aktif dalam bahasa inggris dengan teman, orang tua, bahkan pacar. Lain dengan Nadine-Nadine di Malaysia dan India yang memang menjadikan english sebagai second language mereka. Tapi, ini terkait dengan sejarah kolonial dimana Malaysia dan India sama-sama dijajah oleh Inggris, sehingga mereka masih merasa memiliki ikatan batin dengan Sang Ratu Inggris.

Kembali ke Nadine dan pengaruh globalisasi bahasa. Ada dua proposisi. Pertama, jika Nadine aware, at least dia tidak perlu menceburkan diri dalam globalisasi bahasa yang dia sendiri tidak kuasai. Alangkah elegannya jika Nadine berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan bahasa Indonesia-bahasa yang setiap hari diucapkan oleh 250 juta orang. Itu bukan suatu hal yang buruk dan memberikan penilaian yang sedikit buat Nadine. Karena, terbata-batanya Nadine dalam menjawab pertanyaan, membuat Nadine dan dunia pendidikan di Indonesia (terutama pendidikan Bahasa Inggris) menjadi tercemooh.

Kedua, jika Nadine aware untuk terjun ke dunia internasional, jangan lah setengah-setengah. Kesempatan selalu ada untuk bisa meng-up date kemampuan berbahasa asing agar bisa mampu berkompetisi di arus globalisasi bahasa tersebut. Proposisi kedua inilah yang dikenalkan ayah saya sehingga saya merasa confidence untuk melebarkan jaringan internasional saya.

Kesimpulannya, belajar terbiasa dengan globalisasi bisa dilihat dari dua sisi. Menerima informasi dan perubahan yang ada, atau mencoba membuat perubahan dari sebuah bentuk kesepakatan informal yang selama ini telah terbangun. Dalam hal ini, kasus pengenalan bahasa indonesia dalam wawancara Nadine dapat merefleksikan sisi yang kedua.

Dengan melihat globalisasi dari kedua sisi tersebut, kita tidak perlu takut untuk belajar terbiasa dengan globalisasi.

Anda boleh sependapat, boleh juga tidak.

Learn to appreciate of what we thought is not important

Siang ini saya kembali bereksperimen dalam hal memasak. Karena hari ini hari sabtu, tak ada salahnya saya kembali ke dapur untuk sekedar memuaskan aspirasi perut Indonesia saya dengan masakan Indonesia. Sudah hampir seminggu lamanya perut ini cuman diisi sandwich ala inggris kalo pas lunch. Kangen juga dengan masakan Indonesia.

Akhirnya setelah meneliti isi lemari es dan mencermati apa yang tersisa di situ, saya menemukan terong, cabe merah besar, tempe, dan ayam. Hmmm.. tercenung sejenak, kira-kira apa yang bisa dimasak dengan kombinasi semua itu. Setelah merenung sejenak dan mencari inspirasi, akhirnya saya memutuskan akan membuat kombinasi : Terong balado dan Tempe penyet. Ayamnya? Hm.. buat diner aja dech, karena masih frozen gitu, dan butuh waktu lama lagi untuk mengolahnya, padahal perut udah bernyanyi keroncong.

Setelah semua bahan terkumpul, mulailah saya melakukan aktivitas masak-memasak itu, yang jarang sekali saya lakukan waktu saya di Indonesia. Malah kalo boleh dibilang, ngga pernah, kecuali terpaksa karena Staff dirumah pulang kampung .. hehe..

Begitulah, disela-sela saya memotong terong dan tempe, saya teringat Staff saya dirumah. Mungkin beginilah perasaan nya waktu melaksanakan tugasnya menjadi pembantu di rumah saya. Memasak untuk saya. Menyediakan yang terbaik untuk saya... Ngga terbayangkan sebelumnya. Yang terkadang suka muncul adalah perasaan amarah kalo staff saya melakukan kesalahan. Masakannya terlalu asin atau ngga ada rasanya. Atau masakannya ngga enak sama sekali. Padahal, memang susah pekerjaan masak memasak.

Mengapa saya bilang susah?

Bayangkan, untuk bikin terong balado, saya harus ngulek cabe, bawang merah, bawang putih, tomat.. dan itu bukan pekerjaan yang mudah. Dan untuk bisa menghasilkan ulekan yang halus, saya harus bekerja keras menggerusnya sambil menahan air mata akibat aroma bawang yang memedihkan mata. Duh, sebuah pekerjaan yang ngga gampang. Saya cukup frustrasi karena ngga bisa menghasilkan gerusan yang halus, alhasil si bawang dan si cabe masih dalam kondisi yang cukup terlihat jelas dan ngga kegerus sama sekali.

Belum lagi waktu menggoreng tempe. Berapa kali saya kecipratan minyak panas waktu nggoreng si tempe. Alhasil beberapa titik di lengan saya harus rela diolesi odol, supaya ngga jadi luka. Duh duh.. goreng tempe aja so complicated gitu..

Pelajaran yang saya dapatkan dari memasak hari ini adalah, betapa berharganya jasa staff saya dirumah. Kecil sich sepertinya, tapi kalo tidak ada mereka, ngga tau deh apa yang terjadi sama saya. Mereka memang kelihatannya tidak berdaya .. hanya mengandalkan kebisaan memasak, mencuci, menyetrika, dan mengasuh anak. Mereka ngga punya bekal apa-apa untuk kehidupan mereka. Dan, again, apakah mereka punya cita-cita selain hanya mengabdi untuk majikan mereka?

Ngga terasa, air mata mengalir dari bola mata saya yang mungil dan imut itu (doohh..). Saya menyesal betapa saya kurang menghargai keberadaan mereka. Pekerjaan ngulek terong balado dan menggoreng tempe mungkin hal yang kecil buat mereka, tapi itu sangat berat buat saya. Saya mengagumi betapa kegigihan mereka untuk hidup dan mengabdi pada majikan mereka.

Well.. learn to appreciate of what-we-thought-is-not-important is a new thing that I learn today. I hope it's not too late to express my apologize if I did wrong things to you, my staff.. Muroh and Suster Pu-ah, and two more.. Suster Maya and Titin.

Sukseskah Desentralisasi di Indonesia???

Banyak orang yang meragukan akan keberhasilan desentralisasi yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2000. Awalnya, proses menuju ke arah desentralisasi dilalui dengan sangat tergesa-gesa. Maklum, saat itu Habibie sedang dituntut performance-nya untuk menjadi calon presiden yang handal. Walaupun saat itu Habibie sudah menjadi presiden, tapi banyak rakyat menganggap itu hanyalah sebagai 'by coincidende' belaka.

Maka, dengan kondisi yang menuntut adanya reformasi di segala bidang, jadilah kedua undang-undang yang menopang pelaksanaan desentralisasi ditetapkan. Kondisi itu juga diperparah dengan 'arahan' dari lembaga donor internasional yang sangat menggembar-gemborkan implementasi desentralisasi di negara berkembang -dan Indonesia menjadi salah satu sasarannya.

Saat ini sudah memasuki tahun keenam pelaksanaan desentralisasi. Dan, kedua undang-undang yang disahkan pada masa pemerintahan Habibie telah diamandemen pada tahun 2004. Banyak alasan yang mendorong kenapa pemerintah memutuskan untuk mengamandemen undang-undang tersebut. Salah satu motif utama adalah semakin timbulnya kesenjangan atau inequality yang cukup tajam antar daerah. Selain itu, anekdot yang cukup nge-trend tentang definisi desentralisasi versi Indonesia adalah transfer of corruption from central to local government, atau kalo diterjemahkan secara bebas berpindahnya korupsi yang semula berada di tingkat pusat menjadi korupsi di tingkat daerah.

Sebenarnya apa yang salah dengan desentalisasi di Indonesia? System? sudah oke karena seperti tadi yang saya sebutkan dimuka, dorongan desentralisasi di Indonesia salah satunya adalah tuntutan dari negara donor yang memang sedang menggiatkan kampanye 'desentralisasi' ini ke negara-negara berkembang. Oleh karenanya, sistem desentralisasi -baik itu dari segi penyerahan kewenangan, penyerahan keuangan, maupun perangkat yang lainnya- yang di establish di Indonesia, sudah sesuai dengan path yang ada di negara-negara berkembang.
Lalu kenapa gaung desentralisasi sepertinya kurang mendapat tempat dihati sebagian orang? Apakah itu berarti pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sudah gagal?

Saya sebenernya cukup optimis dengan sistem yang sekarang sedang diusahakan oleh Pemerintah, walo tidak bisa dibilang sebagai sistem yang ideal. Dari beberapa segi, Pemerintah telah berhasil mentrasfer informasi kepada publik. Dan itu saya pikir merupakan sebuah terobosan yang baik dalam sebuah proses pembangunan. Proses komunikasi yang harmonis dan sinergis antara masyarakat dan pemerintah merupakan sebuah tonggak utama keberhasilan sebuah pelaksanaan demokrasi - yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk desentralisasi tadi.

Namun kalo boleh kita ambil salah satu contoh dari negara di Afrika, Uganda-misalnya, dorongan untuk desentralisasi bukan datang dari negara donor atau faktor eksternal, tapi dari komitmen internal -politisi, masyarakat, dan pemerintah- yang berkeinginan kuat untuk membangun sebuah rumah demokrasi yang dikokohi dengan desentralisasi. Bayangkan, negara seperti Uganda dapat hand-in-hand together dalam mengimplementasikan 'public choice theory' seperti yang diproposed oleh James Buchanan. Lantas, mengapa negara Indonesia tidak bisa seperti itu ya? Kenapa Indonesia harus dipecut dulu oleh negara donor? Sedih yach..
Mungkin itu salah satu alasan bagi yang pesimis-desentralisasi yang memandang desentralisasi di Indonesia telah gagal (walo saya masih berusaha untuk optimis nich..)

Tapi, dari sekian banyaknya hasil studi tentang desentralisasi di Indonesia dan umumnya di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kesenjangan maupun peningkatan partisipasi masyarakat masih belum jelas. Ngga kurang dari ekspatriat dibidang desentralisasi seperti Paul Smoke, Roy Bahl, Anwar Shah, Jorge-Martinez dan kawan-kawannya itu mengungkapkan bahwa ada korelasi positif antara desentralisasi terhadap indikator yang tadi saya sebutkan diatas. Namun ngga kalah studi yang dilakukan oleh Kwan, Ziang, dan yang lainnya (maaf lupa..) mengatakan bahwa justeru yang terjadi adalah korelasi negatif. Nah lho.. bagaimana ini? Apakah ide desentralisasi yang digembar-gemborkan oleh lembaga donor itu sebenernya hanya jargon saja? Hmm.. kalo si Mandra ditanya, mungkin jawabannya 'Au ah elap'.. hehe..

Tentunya.. ini butuh banyak studi lagi tentang itu.. terutama tentang gimana impactnya di Indonesia. Wah, untuk mendapatkan resultnya, tunggu hasil disertasi saya yach.. nanti saya posting lagi.. hehe.. sekarang ini saya hanya baru mendapatkan segitu aja, dan yach.. apa salahnya disharing (ya ngga??).

Jadi.. seberapa sukses desentralisasi di Indonesia? Mungkin jawaban yang terlintas sama saya pada saat ini adalah kita bisa mengukurnya dengan income distribution antar daerah, bagaimana tingkat pendidikan -apakah sudah menjangkau sampai ke pelosok tanah air atau tidak, apakah dareah terpencil sudah bisa merasakan nikmatnya listrik dan air bersih, atau apakah kesehatan sudah menjangkau rata ke seluruh pelosok tanah air. Karena inti dari desentralisasi adalah 'internalising cost and benefit' untuk people.. so, bagaimana mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya, itulah esensi yang terpenting dari sebuah jargon 'desentralisasi'.

The Key Elements of Fiscal Decentralisation


The rule ‘finance follows function’ would be the best way of showing that fiscal decentralisation had taken place in a devolved system. The substance of ‘finance follows function’ is assigning a set of functions which is adequately matched with the assigning of own source revenues or transfers. In addition, adequate and reliable resources to carry out the given functions are part of the requirements of effective decentralisation. Hence, it is worth noting the key elements of fiscal decentralisation in the decentralisation of functions:

An appropriate set of functions for sub-national governments
This element addresses the question of ‘who does what?’ or ‘what are the functions and expenditure responsibilities of each level of government?’ (Bird and Vaillacourt: 1999, Boeix, 1999). An ideal method of examining the adequacy of assigning functions to lower levels of government is to analyse how well the actual assignment of responsibility fits the fundamental rules of expenditure functions given to sub-national governments (Vasquez, 1999). In addition, Smoke (2001) emphasises that recognising a clear, gradual, and pragmatic strategy is necessary to set the functions more appropriately to lower levels of government.

Why is such assigning of expenditure responsibilities important for ensuring that fiscal decentralisation is implemented in a decentralised government system? In responding, Boeix (1999) notes that the assignment of expenditure responsibilities has a multi-dimensional component, that is, the responsibility to provide, finance, and regulate a certain government function. In this regard, it notably underlines the need to recognise certain functions in order to minimise disputes and potential conflicts amongst tiers of government. Henceforth, fiscal decentralisation should ideally be preceded by political and administrative decentralisation (Braun and Grote, 2002).

An appropriate revenue-resource responsibilities
The ideal way to assign revenue responsibilities is to bring about revenue mobilisation and revenue-raising powers (Bahl, et al, 1999). Therefore, it is necessary to have tax-autonomy to match the assigned functions. As a result, taxpayers may increase their demands on a highly public service provision.

This argument can be derived from the OECD (2004): that ‘when sub-national expenditure is financed predominantly with resources mobilised locally, sub-national jurisdictions face stronger incentives to evaluate the benefits of an increase in spending against the costs of incremental taxation’. Therefore, the argument would be best exercised using the principles of tax-autonomy to sub-national governments, thus enabling the rich regions to finance the service provision from their own revenue and collecting revenues from local residents in order to provide the benefits to local people (Bird and Vaillacourt, 1999).

A well-designed intergovernmental fiscal transfer system
There is growing concern over the contribution of intergovernmental fiscal transfer which until recently still constituted the primary source for local budgets2. The likely reason is that since revenue assignments did not provide sufficient revenues for funding local expenditures, intergovernmental transfer had to ensure the enough revenue at the local level (Boeix, 1999).

Transfers can be formulated in some cases, depending on purpose. They can be unconditional or conditional, or can also form matching or non-matching grants. The principle is that transfers should be generous enough to ensure that sub-national governments can afford to implement the decentralisation of functions.

Adequate access to development capital
Access to development capital is vital for enhancing local discretion over financing local expenditures. The purpose of giving substantial access to financial institutions and markets is mainly to accelerate development generating increased local revenues (Devas, 2006). This gives sub-national governments alternatives in financing their expenditures, particularly capital investment, which is assigned by central government. However, considering that such access would create potential problems due to overall macroeconomic stability, it is, therefore, important to set conditionality above local borrowing.

An adequate enabling environment for fiscal decentralisation
The political will which enables government to establish constitutional and legal mandates for fiscal decentralisation is also essential, since it implies a strong foundation for fiscal decentralisation.

Such an internal driving-force for decentralisation, rather than external driving-forces (i.e., pressures from donors) fosters successful fiscal decentralisation. Uganda and Ethiopia, for instance, initiated their fiscal decentralisation when they experienced a strong national commitment to decentralise (Smoke, 2001). Indeed, instruments of fiscal decentralisation were then vigilantly introduced, with robust and clearly defined constitutional and legal provisions.


While Prud’Homme (2003) almost agrees with these provisions, he holds the presence of accountability mechanism to be a critical value in enforcing fiscal decentralisation. Letting an effective fiscal decentralisation instrument also relates to central government controls, guidelines and constraints upon local government. In this sense, such control would relate to upward accountability to the centre, which would make an accountability mechanism possible between tiers of government.

Medium-Term Expenditure Framework

Salah satu reformasi budgeting yang sedang menggejala di berbagai belahan dunia adalah Medium-Term Expenditure Framework (MTEF). Metode ini sangat gencar diadvokasi oleh lembaga donor seperti World Bank dan IMF. Dengan jargon sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan sebuah 'Poverty Reduction Strategy Programs', kedua lembaga donor tersebut meng-enforce negara-negara yang menerima bantuan dari kedua institusi tersebut untuk mengimplementasikan MTEF dalam proses penyusunan dan pengimplementasian budgeting mereka.

Sebenarnya, apa sich MTEF itu? Menurut definisi dari World Bank (1998), MTEF merupakan sebuah kerangka berpikir yang mensinergikan antara perencanaan (dari sisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah), pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara untuk tahun bersangkutan dan beberapa tahun yang akan datang.

Sekilas sich sama dengan bentuk metode budgeting biasa, tetapi yang membedakan adalah proses kesinambungan dari sebuah public expenditure management. Dengan demikian, yang difokuskan tidak hanya bersifat short term saja, tetapi juga kepada broad policies untuk jangka menengah.

Dalam MTEF, unsur terpenting yang harus dilakukan adalah institutional arrangements. Unsur penentu kebijakan dibidang perencanaan dan finance sebaiknya diintegrasikan untuk mempermudah dalam proses pengelaborasian broad policies tadi.

Mengapa MTEF menjadi penting? Pertama, menjamin predictability. Dengan berbasiskan metode forward estimates aggregate resources, unsur predictability menjadi lebih mudah untuk diraih. Kendala yang selama ini dialami oleh negara berkembang adalah overly estimates terhadap proyeksi penerimaan negara. Sementara itu, sikap yang terlalu optimis ini tidak dibarengi oleh kapasitas 'pemungut' pajak ataupun tax potential itu sendiri. Di sisi pengeluaran, terdapat perbedaan pandangan antara Ministry of Finance dan Line ministries, dimana MoF menganggap bahwa expenditure estimation tergantung pada "availability", sementara Line ministries umumnya melakukan estimasi terhadap iberdasarkan "needs". Mismatch perception ini kerap menimbulkan friksi dalam proses penyusunan anggaran.

Dengan mengimplementasikan MTEF, kemungkinan konflik tersebut bisa diperkecil. Dengan mengkonstruksi sebuah kerangka kerja dan prioritas jangka menengah yang mendeskripsikan broad policies untuk -at least- lima tahun ke depan, hal ini akan lebih memudahkan dalam melakukan kontrol terhadap uang publik. Khusus bagi bagi MoF, kondisi ini akan mempermudah dalam mengenalkan istilah 'hard budget constraints' kepada line ministries. Hal ini karena penyakit yang selama ini menjalar di negara berkembang adalah line ministries cenderung melakukan rent-seeking behaviour dalam menetapkan anggaran belanja mereka.

Kecenderungan untuk tidak efisien dan memaksimalkan anggaran pengeluaran line ministries, membuat MoF kesulitan dalam mengatur uang negara tersebut. Terkadang upaya 'pemotongan' anggaran line ministries tersebut dianggap sebagai upaya 'pengurangan' kualitas atas public service, padahal dari kaca mata MoF, segalanya tergantung availability keuangan negara.

Makanya, MTEF menjembatani konflik tersebut melalui perencanaan yang berkesinambungan dan terkontrol, dan lebih penting lagi, menjamin predictability dalam resource flows dan kriteria untuk public expenditure.

Kedua, meningkatkan kualitas dalam pengambilan kebijakan. MTEF menjamin terbentuknya sebuah mekanisme untuk sarana konsultasi dan debat antara MoF, line ministries, parlemen, dan civil society (salah satu bentuk citizen participatory dalam budgeting). Dengan adanya serangkaian diskusi dan pembahasan yang 'sehat' antara para pengambil kebijakan tersebut, kualitas proses penyusunan anggaran tersebut dapat legitimate. Untuk itu, para ekspatriat di WB dan IMF menyebut MTEF sebagai sarana untuk me-legitimate proses pengambilan kebijakan.

Ketiga, MTEF juga terbukti dapat menjadi sarana untuk mekanisme transparansi dan accountability. Pengalaman di negara-negara berkembang yang telah mengadopsi MTEF (seperti South Afrika dan Uganda) menunjukkan bahwa MTEF terbukti meningkatkan audit trail dalam rangka meningkatkan akuntabilitas publik. Bentuk dan jabaran anggaran negara ke dalam sebuah konstruksi berdasarkan fungsi (organisasi), program, kegiatan, dan jenis belanja dari sisi nilai ekonomi membuat penganggaran berdasarkan MTEF ini memberika ruang gerak bagi MoF, Parlemen, dan civil society dalam melakukan check and balances terhadap kinerja dan performance line ministries.

Namun, tidak semua model sempurna. Problem yang mungkin ditimbulkan dari information assymetry antara MoF dan line ministries dapat mengganggu kesinambungan dalam proses kerja sama antar instansi tersebut. Sebuah kondisi yang menempatkan MoF sebagai planner sementara line ministries sebagai administrator, membuat distance antara MoF dan line ministries. Bila kondisi ini tidak di-overcome melalui sebuah rekonsiliasi politik, maka problem assymetry tersebut agak sulit untuk diminimalisasi.

Permasalahan yang lain adalah dibutuhkannya kombinasi antara top-down dan botton-up decision yang harmonis. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang kapabel untuk bisa mengelaborasi kedua pendekatan tersebut. Pentingnya informasi yang valid dan reliable, juga menentukan keberhasilan pengimplementasian MTEF di negara berkembang.

Permasalahan lain yang cukup penting adalah political will. Tanpa komitmen politik yang cukup tinggi untuk menerapkan MTEF, maka mustahil MTEF akan berlaku secara efektif. Mengapa ini menjadi sebuah bentuk permasalahan? Hal ini karena the nature of MTEF itu sendiri yang menjamin tercapainya akuntabilitas publik melalui audit trail tersebut sehingga menyebabkan dibutuhkannya political commitment dari kalangan eksekutif, legislatif, dan judikatif. Tentunya hal ini akan sangat 'membahayakan' bagi para rent-seeker yang mengambil 'keuntungan' dari uang publik. Political commitment juga terkait dengan bekerjanya law enforcement sehingga memungkinkan proses akuntabilitas publik ini dapat terlaksana.

Dari uraian tersebut kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Sebuah model akan diperbaharui lagi dengan model yang lainnya karena adanya kelemahan terhadap model tersebut. Begitu seterusnya sampai ditemukan metode yang terbaik yang dapat mengakomodasi kemungkinan kelemahan yang mungkin ditimbulkan. MTEF belum tentu merupakan model yang terbaik untuk menyusun, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan anggaran negara, tetapi konsep dasarnya yang mengedepankan prinsip kesinambungan, transparansi, dan akuntabilitas sangatlah menarik untuk dikaji lebih lanjut.