Kata-kata globalisasi tentunya bukan hal yang asing buat kita. Maknanya bisa luas; bisa mencakup hubungan politik internasional, perdagangan, ekonomi, komunikasi, sampai badan intelijen.
Buat saya, makna globalisasi tidak lain adalah pertukaran informasi. Dengan adanya globalisasi, kita jadi tahu apa yang terjadi di Libanon saat digempur pasukan Israel. Kita juga tahu bahwa ada busung lapar di Ethiopia dan negara-negara Afrika. Dengan globalisasi, kita juga bisa ikutan mengutuk Bill Clinton saat terlibat skandal dengan Monica Lewinski.
Itulah hebatnya globalisasi.
Kita bisa menikmati gurihnya KFC dan McDonald. Kita juga bisa dengan leluasa menelpon pacar dengan HP Nokia buatan Findland. Kita juga bisa dengan mudah berkomunikasi via Skype buatan Estonia untuk menghubungi teman dan sahabat kita yang ada di luar negeri. Selain itu, kita juga bisa jalan gaya dengan tas Gucci dan jam Benetton untuk berangkat kerja.
Itulah hebatnya globalisasi.
Banyak orang yang kagum dengan kecanggihan globalisasi. Banyak pula yang mengecam bahaya
dibalik globalisasi. Bahaya akibat kapitalisme dan konsumerisme selalu diusung kaum penggugat globalisasi.
Tapi, lagi-lagi, itulah hebatnya globalisasi.
Rasa ketakutan yang berlebihan bisa ditepiskan dengan serentetan keuntungan yang diberikan dalam globalisasi. Kemudahan komunikasi dan jaringan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, sampai kepada akses ke lembaga peminjam internasional.
Namun, saya tidak mau beropini terhadap serentetan keuntungan tersebut. Selain udah basi dan terlalu sering diusung oleh orang lain, saya ingin memberikan sedikit wacana tentang globalisasi dari sudut pandang yang lain, yaitu mengenai pertukaran informasi.
Pertukaran informasi menjadi krusial agar kita bisa cope dengan lingkungan dan perubahan dunia yang demikian cepat. Bagaimana kita bisa dengan mudah beradaptasi dengan perubahan tersebut dan bisa berkompetisi dengan orang-orang dari negara lain?
Tentunya kita harus bisa menguasai alat komunikasi, yaitu melalui bahasa. Saat ini, dunia
mengenal 6 jenis bahasa yang diakui secara internasional, yaitu bahasa inggris, perancis, jerman, china, spanyol, dan arab. Keenam bahasa asing ini diyakini sebagai bahasa internasional berdasarkan populasi yang menggunakan bahasa tersebut.
Kita kecilkan ke dalam bahasa inggris saja. Sejak saya TK sampai sekarang, pelajaran bahasa inggris sudah menjadi lalapan saya sehari-hari. Saya masih ingat betapa orang tua sangat menggembleng saya untuk bisa mahir berbahasa Inggris. Alasan mereka, kalo saya ingin maju dan bisa menembus dunia internasional, saya harus pintar bahasa inggris. Tentunya, buah ini saya petik sekarang. Saya bisa confidence cas cis cus berkomunikasi dengan orang lain di negara nya Prince William ini, karena saya dulu begitu menghayati pentingnya bahasa inggris ini.
Namun, seiring waktu dan jam terbang saya menembus dunia internasional, saya semakin ragu dengan ide globalisasi dari perspektif bahasa sebagai alat komunikasi global. Dalam beberapa kiprah saya di beberapa negara eropa -yang notabene dekat dengan negara Inggris- masih banyak masyarakatnya yang tidak mau dan tidak bisa bahasa inggris. Tak terkecuali dengan orang Perancis yang dulu terkenal anti dengan bahasa inggris. Kesulitan berkomunikasi juga kerap saya jumpai di negara-negara eropa timur, walau sebenarnya hal tersebut wajar aja karena mereka baru saja menggeliat dari rejim komunis pasca kejatuhan Uni Sovyet.
Bahkan, dalam kunjungan saya ke Markas PBB di Vienna beberapa waktu lalu, ada cerita bahwa bahasa inggris ternyata bukanlah menjadi bahasa pengantar dalam rapat pleno di PBB.
Argumen yang diberikan adalah lebih kepada kenyamanan dan kepercayaan dalam berkomunikasi. Untuk itu, peran interpreter atau penerjemah sangat krusial untuk menjembatani language problem tersebut.
Dari sini saya kemudian mencoba mencari, apakah benar justifikasi ayah saya bahwa kalo saya ingin terjun ke dunia internasional saya harus pintar bahasa inggris?
Saya kemudian teringat dengan kejadian lucu dan cukup memalukan yang dialami Nadine, seorang putri cantik Indonesia yang diikutkan dalam acara Miss Universe 2006. Mungkin masih ramai dibicarakan di milis-milis betapa memalukanya seorang putri cantik Indonesia tidak bisa berkomunikasi secara lancar dalam bahasa Inggris di ajang internasional.
Tapi, lagi-lagi, Nadine bukanlah perempuan super. Dia memang cantik dan berbakat. Hanya saja kemampuan bahasa Inggris dia perlu diasah lagi kalau dia ingin lebih confidence dalam berbicara dalam bahasa asing.
Tapi Nadine juga tidak salah. Bahasa Inggris belum lah menjadi second language di Indonesia. Nadine mungkin tidak berkomunikasi secara aktif dalam bahasa inggris dengan teman, orang tua, bahkan pacar. Lain dengan Nadine-Nadine di Malaysia dan India yang memang menjadikan english sebagai second language mereka. Tapi, ini terkait dengan sejarah kolonial dimana Malaysia dan India sama-sama dijajah oleh Inggris, sehingga mereka masih merasa memiliki ikatan batin dengan Sang Ratu Inggris.
Kembali ke Nadine dan pengaruh globalisasi bahasa. Ada dua proposisi. Pertama, jika Nadine
aware, at least dia tidak perlu menceburkan diri dalam globalisasi bahasa yang dia sendiri tidak kuasai. Alangkah elegannya jika Nadine berani menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan bahasa Indonesia-bahasa yang setiap hari diucapkan oleh 250 juta orang. Itu bukan suatu hal yang buruk dan memberikan penilaian yang sedikit buat Nadine. Karena, terbata-batanya Nadine dalam menjawab pertanyaan, membuat Nadine dan dunia pendidikan di Indonesia (terutama pendidikan Bahasa Inggris) menjadi tercemooh.
Kedua, jika Nadine aware untuk terjun ke dunia internasional, jangan lah setengah-setengah. Kesempatan selalu ada untuk bisa meng-up date kemampuan berbahasa asing agar bisa mampu berkompetisi di arus globalisasi bahasa tersebut. Proposisi kedua inilah yang dikenalkan ayah saya sehingga saya merasa confidence untuk melebarkan jaringan internasional saya.
Kesimpulannya, belajar terbiasa dengan globalisasi bisa dilihat dari dua sisi. Menerima informasi dan perubahan yang ada, atau mencoba membuat perubahan dari sebuah bentuk kesepakatan informal yang selama ini telah terbangun. Dalam hal ini, kasus pengenalan bahasa indonesia dalam wawancara Nadine dapat merefleksikan sisi yang kedua.
Dengan melihat globalisasi dari kedua sisi tersebut, kita tidak perlu takut untuk belajar terbiasa dengan globalisasi.
Anda boleh sependapat, boleh juga tidak.